Harap-Harap Cemas ASN Daerah akan “MUTASI” Pasca PILKADA Serentak 2024

Kbarsumbawa.com – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 merupakan peristiwa politik penting dalam sejarah demokrasi Indonesia. Diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pilkada serentak ini mencakup 37 provinsi, 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Pelaksanaan secara bersamaan ini bertujuan untuk efisiensi anggaran, peningkatan partisipasi pemilih, dan penguatan konsolidasi demokrasi lokal.

Penyelenggaraan pilkada serentak 2024 memiliki dimensi politik yang kompleks. Berbagai partai politik dan koalisi berlomba-lomba memperebutkan posisi kepala daerah dengan mengusung kandidat mereka masing-masing. Kontestasi ini sering kali melibatkan janji-janji politik, termasuk yang berkaitan dengan reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan daerah. Perubahan kepemimpinan yang potensial terjadi pasca pilkada menjadi sumber kekhawatiran bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Daerah, terutama terkait kemungkinan mutasi atau perubahan posisi. Kekhawatiran ini tidak tanpa alasan, karena sejarah menunjukkan bahwa pergantian kepala daerah sering kali diikuti dengan perombakan struktural dalam birokrasi lokal. Fenomena ini telah menciptakan suasana ketidakpastian di kalangan pegawai daerah, yang posisinya mungkin terpengaruh oleh hasil pilkada. Dampak dari dinamika politik ini tidak hanya menyentuh aspek administratif, tetapi juga berdampak langsung pada stabilitas psikologis pegawai dan pada akhirnya memengaruhi kualitas pelayanan publik di daerah.

Setiap kali siklus pemilihan kepala daerah berakhir, fenomena mutasi pegawai seolah menjadi ritual yang tak terhindarkan dalam lanskap politik Indonesia umumnya dan pada Propinsi maupun Kabupaten/Kota khususnya. Data dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menunjukkan bahwa dalam periode enam bulan pasca pilkada serentak 2020, tercatat lebih dari 3.000 kasus mutasi pegawai daerah yang dilaporkan dan dipertanyakan prosesnya, di mana sekitar 40% di antaranya terindikasi melanggar prinsip-prinsip merit system.

Fenomena ini telah mengakar sebagai bagian dari “warisan” politik lokal yang sulit dihilangkan. Beberapa pola umum yang dapat diidentifikasi adalah: Pertama, mutasi massal yang dilakukan segera setelah pelantikan kepala daerah baru, umumnya dalam rentang 3-6 bulan pertama masa jabatan. Kedua, penempatan pegawai yang dianggap loyal selama kampanye pada posisi strategis. Ketiga, “pembuangan” pegawai yang diidentifikasi sebagai pendukung kandidat lawan ke posisi yang kurang strategis atau daerah terpencil. Keempat, pengangkatan pejabat pelaksana tugas (Plt) dalam jumlah besar sebagai strategi untuk menunda pengisian jabatan permanen sambil mengevaluasi loyalitas pegawai.

Perspektif Kepala Daerah Terpilih terhadap Mutasi Pegawai

Untuk memahami secara komprehensif dinamika mutasi pasca pilkada serentak, penting untuk menjabarkan sudut pandang Kepala Daerah  (Gubernur, Bupati, Walikota) terpilih sebagai pengambil keputusan utama dalam restrukturisasi birokrasi di daerah. Perspektif ini sering kali tidak terartikulasi dengan baik dalam diskursus publik, padahal memberikan wawasan berharga mengenai pertimbangan, motivasi, dan kendala yang dihadapi kepala daerah dalam mengelola aparatur pemerintahan yang diwarisi dari rezim sebelumnya.

Ada beberapa perspektif dominan yang mempengaruhi pendekatan Kepala Daerah terhadap pelaksanaan mutasi pegawai ; Pertama, Kebutuhan Penyelarasan Strategis, Bagi sebagian besar kepala daerah, mutasi dipandang sebagai instrumen strategis untuk menyelaraskan birokrasi dengan visi-misi yang dijanjikan selama kampanye. Mereka menekankan pentingnya memiliki tim yang memahami dan berkomitmen terhadap prioritas pembangunan yang telah dicanangkan atau di janjikan pada masyarakat; Kedua, Penilaian Loyalitas dan Kompetensi, Ada beberapa Kepala Daerah yang menekankan loyalitas personal sebagai kriteria utama dengan argumen bahwa “kompetensi dapat dibangun, tetapi loyalitas tidak” selain itu ada juga persepsi Kepala Daerah yang menyatakan lebih memprioritaskan kompetensi teknis dan rekam jejak kinerja, dengan prinsip “loyal kepada visi-misi, kinerja dan program kerja, bukan kepada pribadi pemimpin”; Ketiga Tekanan Politik dan Kompromi, terkadang hampir semua kepala daerah terpilih tersandra atau mengakui adanya tekanan politik dalam keputusan mutasi, baik dari partai pendukung/pengusung, tim sukses/relawan, maupun kelompok kepentingan yang berkontribusi pada kemenangannya, ada ekspektasi dari koalisi pendukung yang harus diakomodasi secara proporsional mesti tidak sesuai dengan hati Nurani calon terpilih; Keempat, Evaluasi Terhadap Warisan Birokrasi Rezim Sebelumnya. Kepala daerah menghadapi dilema dalam mengevaluasi aparatur yang ada. Di satu sisi, mereka membutuhkan waktu untuk menilai kinerja dan kompetensi riil, di lain sisi membutuhkan percepatan akserelasi mengejar ekpektasi public akan kinerja 100 hari masa kerja walaupun hal ini tidak menjadi ukuran suatu keberhasilan dalam menjalankan roda pemerintahan dikarena kepala daerah memiliki masa waktu 5 tahun dalam menjalankan pemerintahan yang dipimpinnya.

Baca juga:  Bupati Sumbawa Salurkan Bantuan Alsintan untuk 22 Kelompok Tani Dukung Pertanian Modern

Pemahaman terhadap perspektif kepala daerah ini penting dalam mengembangkan pendekatan yang lebih realistis dan kontekstual untuk mengelola transisi kepemimpinan. Alih-alih sekadar mengkritik mutasi sebagai praktik politisasi, penting untuk mengakui kompleksitas pertimbangan yang dihadapi kepala daerah dan mencari titik temu antara kebutuhan legitimasi politik dan mengharuskan adanya profesionalisme birokrasi.

 

Dampak Psikologis Ketidakpastian pada Pegawai Daerah

Ketidakpastian yang menyertai periode pasca pilkada menciptakan tekanan psikologis yang signifikan bagi pegawai daerah. Profesor Psikologi Industri dan Organisasi dari Universitas Indonesia, Dr. Corina D. Riantoputra, dalam penelitiannya tahun 2022 mengidentifikasi bahwa masa transisi kepemimpinan politik menyebabkan peningkatan tingkat kecemasan hingga 42% di kalangan pegawai pemerintahan di daerah.

Kondisi ini dikenal dalam literatur psikologi sebagai “organizational uncertainty stress” atau stres akibat ketidakpastian organisasi. Manifestasi psikologis dari ketidakpastian ini muncul dalam berbagai bentuk. Survei yang dilakukan Lembaga Kajian Psikologi Terapan (LKPT) terhadap 1.200 pegawai daerah di 8 provinsi menjelang pilkada serentak 2024 mengungkapkan beberapa gejala umum yang dialami:

Gangguan Kognitif. Pegawai mengalami penurunan konsentrasi hingga 30%, kesulitan dalam pengambilan keputusan, dan kecenderungan untuk menunda pekerjaan penting karena ketidakjelasan masa depan karier mereka. Banyak pegawai yang melaporkan kesulitan fokus pada tugas jangka panjang dan lebih memilih menyelesaikan pekerjaan rutin yang tidak berisiko.

Dampak Emosional. Peningkatan tingkat kecemasan, ketakutan, dan frustrasi menjadi gejala yang paling banyak dilaporkan. Sekitar 65% responden mengakui mengalami perasaan tertekan ketika mendengar rumor tentang perombakan struktural. Beberapa pegawai bahkan mengalami gejala depresi ringan hingga sedang, terutama mereka yang pernah mengalami mutasi tidak menyenangkan pada periode sebelumnya.

Perubahan Perilaku Sosial. Ketidakpastian mendorong perubahan dinamika sosial di lingkungan kerja, termasuk peningkatan perilaku politik kantor, pembentukan klik sosial berdasarkan afiliasi politik, dan penurunan kerjasama antar Dinas/Bidang. Sekitar 58% pegawai mengaku lebih berhati-hati dalam berkomunikasi dan 47% melaporkan mengurangi inisiatif dalam proyek kolaboratif.

Dampak Fisik. Stres berkepanjangan akibat ketidakpastian juga bermanifestasi dalam gejala fisik seperti gangguan tidur (dialami 53% responden), sakit kepala tegang (41%), dan gangguan pencernaan (37%). Beberapa kasus ekstrem bahkan melaporkan peningkatan tekanan darah dan memperburuk kondisi kesehatan yang sudah ada sebelumnya.

Dampak psikologis ini tidak hanya mempengaruhi kesejahteraan individual pegawai tetapi juga berdampak negatif pada produktivitas dan efektivitas organisasi secara keseluruhan. Strategi koping (Upaya yang dilakukan seseorang dalam mengatasi stres) yang dikembangkan pegawai dalam menghadapi ketidakpastian ini juga beragam. Beberapa mengadopsi pendekatan proaktif seperti peningkatan kinerja dan kompetensi, sementara lainnya cenderung mengambil pendekatan defensif seperti membangun jaringan politik atau bahkan mencari peluang karier di luar instansi pemerintah daerah atau alih status kepegawaian.

Baca juga:  Bupati Sumbawa Salurkan Bantuan Alsintan untuk 22 Kelompok Tani Dukung Pertanian Modern

Untuk mengatasi dampak psikologis ini, sepatutnya pemerintah daerah mengimplementasikan program dukungan psikologis dan manajemen stres bagi pegawai, Sehingga bisa dijadikan bagian integral dari manajemen transisi kepemimpinan di sebagian besar daerah paska pemilihan kepala daerah.

Menuju Birokrasi yang Profesional dan Stabil

Dinamika mutasi pegawai pasca pilkada serentak merupakan fenomena kompleks yang berada pada persimpangan antara imperatif politik dan profesionalisme birokrasi. Meskipun kekhawatiran pegawai daerah menghadapi kemungkinan mutasi pasca pilkada memiliki landasan empiris yang kuat berdasarkan pengalaman masa lalu, terdapat juga indikasi perubahan positif dalam pengelolaan transisi kepemimpinan di berbagai daerah.

Jalan menuju birokrasi yang profesional dan stabil di tengah dinamika politik lokal membutuhkan pendekatan sistemik yang menyasar berbagai level intervensi. Transformasi ini tidak dapat terjadi dalam satu siklus politik, tetapi memerlukan upaya berkelanjutan dengan dukungan berbagai pemangku kepentingan. Beberapa pilar kunci dalam membangun birokrasi yang tangguh menghadapi transisi politik sebagai berikut :

Penguatan Perlindungan Institusional. Memperkuat kerangka regulasi dan kelembagaan yang melindungi integritas sistem merit dan netralitas birokrasi. Ini mencakup revisi undang undang dan peraturan yang memberikan batasan jelas terhadap diskresi politik dalam penempatan pegawai, serta penguatan lembaga pengawas independen seperti KASN dengan kewenangan penegakan yang lebih efektif.

Institusionalisasi Sistem dan Prosedur. Mengembangkan mekanisme teknis yang terstandarisasi dan terlembaga untuk penempatan pegawai berdasarkan kompetensi. Sistem assessment center, manajemen talenta, dan perencanaan suksesi yang berbasis teknologi dan transparan dapat menciptakan perlindungan struktural terhadap intervensi politik yang berlebihan.

Konsensus Elite Politik. Membangun kesepakatan di antara elite politik lokal mengenai pentingnya menjaga profesionalisme birokrasi melampaui siklus elektoral. Pembentukan “pakta integritas” antar kandidat kepala daerah dan pelibatan partai politik dalam dialog mengenai reformasi birokrasi dapat membantu menciptakan norma baru yang menghargai netralitas aparatur.

Pengawasan Publik. Mendorong partisipasi masyarakat sipil, media, dan pemangku kepentingan lain dalam memantau dan mengevaluasi proses mutasi. Transparansi data dan proses pengambilan keputusan, penyediaan layanan pelaporan pelanggaran, dan pelibatan lembaga pemantau independen dapat menciptakan perangkat pencegahan terhadap politisasi birokrasi.

Pilkada serentak 2024 menawarkan momentum strategis untuk mengakselerasi transformasi menuju birokrasi yang lebih profesional dan stabil. Skala nasional dari pilkada ini memungkinkan intervensi sistemik yang terkoordinasi dari pemerintah pusat, sementara kesadaran publik yang meningkat tentang pentingnya kualitas birokrasi menciptakan tekanan politik untuk perubahan.

Ke depan, visi birokrasi Indonesia yang profesional, adaptif, namun stabil di tengah dinamika politik elektoral bukanlah sesuatu yang tidak mungkin dicapai. Berbagai praktik terbaik di beberapa daerah telah menunjukkan bahwa keseimbangan antara responsivitas politik dan profesionalisme birokrasi dapat diwujudkan dengan kombinasi tepat antara regulasi yang kuat, sistem yang kredibel, dan budaya organisasi yang mendukung. Transformasi ini tidak hanya akan bermanfaat bagi pegawai daerah dalam bentuk kepastian karier dan perlindungan profesional, tetapi juga bagi masyarakat melalui peningkatan kualitas dan kontinuitas pelayanan publik yang menjadi haknya sebagai warga negara.

Harap-harap cemas pegawai daerah pasca pilkada serentak 2024 hendaknya menjadi katalisator bagi percepatan reformasi birokrasi ini, di mana kekhawatiran kolektif ditransformasikan menjadi momentum perubahan. Dengan komitmen bersama dari seluruh pemangku kepentingan, transisi dari birokrasi yang rentan terhadap politisasi menuju birokrasi yang profesional dan berorientasi pada pelayanan publik bukan sekadar aspirasi ideal, tetapi target yang konkret dan terukur untuk diwujudkan dalam dekade mendatang sehingga tercipta good dan clean governance yang nyata dan ukur. LH

ARTIKEL TERKAIT

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -iklan idul Fitri - Advertisment - iklan idul Fitri - Advertisment - iklan idul Fitri

Terbaru