Oleh: Cenruang Alung (Mahasiswa magister di UiTM, Malaysia)
Kabarsumbawa.com – Baliho-baliho itu telah terpasang di sepanjang pinggiran jalan, di sudut-sudut perkampungan, dan paku kiri-paku kanan di pohon-pohon perkotaan. Berbagai pose mulai dari senyum tipis maupun lebar, pula ada yang berwajah serius dengan tangan yang terkepal, entah apa arti dibalik itu semua. Tak lupa ditambah jargon khas yang terkesan basi sebab mungkin sejak negeri ini merdeka kata-kata tersebut telah masif terjual, amanah, jujur, cerdas (sekalian saja dengan paket siddiq, amanah, tabligh, fathanah), berani, mengabdi untuk rakyat (tergantung keuntungan), membawa perubahan (kemana?), mewakili suara anak muda, lanjutkan perjuangan, dan lain sebagainya, silahkan ditambah sendiri.
Tetapi sayang, semangat politik dan perubahan tersebut tidak dibarengi dengan kepedulian ekologi (ecological ethics) ataupun kurang gencar dalam memanfaatkan kemajuan teknologi internet dan media sosial (unutilized/unaesthetic in tech), sebab bukankah masyarakat saat ini jauh lebih hobi menancapkan mata pada layar smartphone daripada duduk bengong apalagi membaca baliho-baliho di jalanan.
Sebenarnya sah-sah saja dengan baliho-baliho itu dengan catatan bertanggung jawab atasnya, atas pohon yang mengeluarkan getah akibat paku kiri-kanan, atas terhambatnya layanan sedot WC sebab nomor teleponnya ditutupi oleh baliho, dan bertanggung jawab atas terhalangnya pandangan remaja puber yang sedang menikmati sunset oleh sebab baliho yang besarnya sedikit lagi mampu menutupi cakrawala. Tetapi dalam memberi kritik haruslah adil, sebab terdapat juga beberapa manfaat adanya baliho-baliho tersebut seperti kelak dapat digunakan sebagai atap ataupun taplak meja pada warung-warung kecil, ataupun sebagai media alternatif permainan dart bagi anak kecil di kampung. Setidaknya itu adalah hal bagus dan kebermanfaatan pertama yang telah diberikan.
Masuk pada inti tulisan ini, pesta demokrasi yang kita rasakan ini patutlah disambut dengan ceria, optimis, dan penuh kedewasaan. Dengan penuh keyakinan, tentu para calon pemimpin dan perwakilan rakyat adalah mereka yang memiliki niat dan pemahaman lebih dalam menata kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, kalau pun tidak, maka sudah barang pasti bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki keberanian dalam mewakafkan dirinya untuk masyarakat entah nantinya akan berbuah pujian ataupun cacian.
Sebenarnya permasalahan baliho ataupun jargon bukanlah hal esensial, namun hal-hal jauh melebihi itu (beyond the matter), visi dan intelektualitas, keberanian dan niat luhur untuk membangun daerah dan menyejahterakan masyarakat, serta segala nilai yang terkandung dalam kisah heroik Datu Busing, Unru, Baham, dan Dea Ngampo dalam masyarakat Sumbawa.
Dalam buku “Sumbawa Pada Masa Dulu” oleh Lalu Mantja dan buku “Sejarah Sumbawa” oleh J Noorduyn yang diterjemahkan oleh Muslimin Jasin, terdapat beberapa nama tokoh Sumbawa (Pulau Sumbawa) yang tanpa gentar membela hak-hak rakyat Sumbawa (konteks saat itu: hak untuk merdeka, perlawanan terhadap Belanda), bukan hanya waktu dan pikiran yang telah dikorbankan, juga nyawa.
Lalu Malarangang Dea Tumuseng (Datu Busing/Museng), Unru Dea Mas Sapuggara Taliwang (Unru), Baham Baturotok (Baham), Dea Ngampo Plampang (Dea Ngampo) adalah beberapa tokoh yang kisahnya terkenal luas di Masyarakat Sumbawa sebab integritas, ketegasan, keberanian, dan kejelas-berpihakan mereka pada rakyat. Kiranya mereka adalah bentuk lampau dari pemikiran Sang Revolusioner Tan Malaka, sebuah pelaksanaan yang mendahululi perkataan “Tuan rumah tidak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya.”
Tentu harapan masyarakat Sumbawa terlampau besar akan pemimpin dan wakil rakyat yang di dalam dirinya tertanam kokoh nilai luhur perjuangan para pendahulu. Mereka yang menghayati Sumbawa sebagai rumah dan memandang segala kepentingan yang sama sekali tidak memberi manfaat kepada masyarakat Sumbawa sebagai maling. Bukan mereka yang justru menjadi maling di rumahnya sendiri. Utopis kah? Wallahu a’lam bisshawaab.
Untuk segenap para kontestan politik yang telah menebar janji kepada masyarakat Sumbawa, mari bersama-sama membaca sebuah sumpah yang bersejarah ini “lamin no adil mu parenta rakyat, mu entek ko olat bau kau bele, mu tama ko ai bau kau balo. Lamin mu jempung mu bosok, lamin mu sonap mu pongong. Ya’mo pupu soro kau, ya’mo teming tampo ling umak, laknat kau ling Quran telu pulu jis.” (KS)
Profil Singkat Penulis
Cenruang Alung, lahir (01 Agustus 1999) dan besar di Sumbawa Besar, NTB. Meraih gelar Sarjana Eknomi (S.E.) pada tahun 2021 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dengan program studi Ekonomi Syariah.
Saat ini sedang melanjutkan studi Magister program studi Knowledge Management di Universiti Teknologi MARA (UiTM), Malaysia, melalui program Beasiswa NTB (fully funded).
Penulis aktif di berbagai organisasi seperti Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan saat ini (2023-2024) diamanahi sebagai Kepala Departemen Penelitian dan Kajian Strategis Persatuan Pelajar Indonesia Malaysia (PPI Malaysia).
Penulis dapat dihubungi melalui surel: [email protected] atau beberapa media sosial berikut: Instagram: @cen.alung – Facebook: Cenruang Alung – Twitter: @cenglungg.
Salam, semoga kebahagiaan selalu menyertai kita semua.