Penulis : Galan Rezki Waskita – Kader HMI Malang
Sumbawa Besar, Kabarsumbawa.com – Terdapat banyak teori mengenai negara dan kedaulatan. Namun yang pasti, tujuan dari terselenggaranya negara adalah kemanusiaan. Dalam konteks ini, setiap individu akan bersoal tentang harga, rasa, dan kesamaan. Sejak saat itulah negara menjadi sebuah sistem sekaligus alat.
Namun kerangka berpikir semacam ini tidak pernah pas untuk dituangkan pada semua kalangan masyarakat. Hal ini berkenaan dengan kelas pengetahuan dan kebijaksanaan. Untuk itulah pendidikan tercipta sebagai alat bicara dalam menyatukan rasa.
Sekolah kemudian menjadi sisi utuh manusia untuk memahami orang lain, lingkungan, dan dirinya sendiri. Maka, wadah ini harus tetap berjalan sekalipun pandemi membanjiri. Hal ini karena sekolah adalah miniatur negara yang menempatkan manusia untuk bersikap adaptif.
Tidaklah mengherankan jika setiap kebijakan terkait pendidikan bersifat dinamis. Kebutuhan dunia berubah setiap waktu. Kurikulum, jumlah anggaran, dan angkatan belajar, adalah sesuatu yang pasti terbarukan. Dalam skala yang lebih luas, metode juga termasuk di dalamnya.
Sebagai contoh, 16 September lalu Dirjen Pendidikan Tinggi dan Kemendikbud Ristek menyatakan Pendidikan Tatap Muka (PTM) dibuka kembali. Hanya saja kapasitas ruangan dan waktunya dibatasi. Demikian pula dengan kewajiban penyelenggaraan protokol kesehatan.
Dari sisi inilah salah satu tuntutan bersikap adaptif tersebut dikeluarkan. Negara membangun skema kebijakan yang secara tidak langsung menjadi regulasi mutlak dalam lembaga yang disasar. Negara menanamkan wajahnya dalam aturan yang dikeluarkan.
Namun tidak berarti kebijakan itu tidak memiliki landasan etis dan kemanusiaan.
PTM terbatas diterapkan Mendikbud Ristek Nadiem Makarim meneruskan pandangan Presiden. Kebijakan ini diadakan karena mempertimangkan keluhan guru dan wali murid. Belajar Dari Rumah (BDR) tidak lagi dipandang efektif.
PTM terbatas ini sekaligus menjadi wujud kebutuhan negara dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Maka barangsiapa yang memperjalankannya, sejatinya ia telah menciptakan kearifan negara di lingkungan sekolah.
Pada dasarnya, sekolah memang telah menggambar wajah negara dengan wujud yang sederhana. Sekolah menetapkan guru-guru dalam setiap bidang ilmu. Negara menetapkan lembaga-lembaga untuk tiap-tiap kebutuhan. Guru-guru menetapkan nilai-nilai yang wajib ditanamkan. Negara menetapkan hukum-hukum yang wajib ditegakkan.
PTM terbatas ini pula adalah salah satu cara agar fungsi-fungsi itu terus berjalan. Dengan begitu, para siswa dapat berbicara tentang harga, rasa, dan kesamaan dengan leluasa. Namun demikian, negara hanya sebagai regulator saja. penyelenggara pendidikan yang bertemu dengan peserta didik lah yang bertindak sebagai eksekutor.
Kita mengenal bahwa sekolah adalah sarang radikal dalam menggali pemahaman-pemahaman. Maka dari itu, para pelaksananya harus mampu melihat sesuatu secara utuh, terutama yang berkenaan dengan dirinya. Namun bagian inilah yang kerap menjadi persoalan.
Dalam contoh kasus PTM terbatas, masih banyak pihak yang memberlakukannya dengan mengabaikan prosedur yang ditetapkan. Sementara, aturan ini telah memberikan rasionalisasi yang gamblang.
Artinya, ada pembacaan yang belum tuntas dalam menafsirkan sebuah aturan. Sebagian besar dari kita tentu menyadari urgensitas bacaan ini. Pandemi berada dalam masa transisi pengendalian. Untuk itu, setiap aktivitas harus terukur pada segala sesuatunya.
Kita tentu pernah melihat lembar jawaban kertas ulangan dengan nilai di bawah 5. Kita juga memahami bahwa nilai jelek sangat akrab dengan amarah orang tua. Nilai jelek berakar dari pengabaian-pengabaian. Sementara amarah adalah dampak kekecewaan.
Sama halnya dengan regulasi PTM terbatas ini, jika diabaikan maka akan mendapat nilai buruk di mata publik. Selanjutnya setiap orang akan saling menyalahkan satu sama lain. Kondisi ini adalah sebuah ketidak adilan. Klaim terburuk akan jatuh pada penyelenggara negara.
Padahal, setiap orang memahami bahwa kebijakan negara sebatas instrumen hukum. Akan tetapi, legitimasi atas hukum ada pada penyelenggara pendidikan yang notabene berhadapan dengan siswa (massa). Jadi seharusnya, pembaca sekalian telah mengetahui kunci keberhasilan dari kebijakan ini.
Jika tidak, sekolah hanya akan menjadi miniatur negara dengan karakter sebagai lembaga yang abai. Padahal, lingkungan sekolah adalah lingkungan yang semestinya mampu meluruskan logika manusia.
Dasar ini yang perlu ditanamkan pada setiap kita agar adanya fungsi pengawasan dari semua kalangan. Dengan demikian, pembicaraan terkait rasa harga dan kesamaan dapat kembali tersematkan. Negara kemudian akan tampil dengan miniatur keintelektualan yang lebih utuh dan kokoh. (KS)