Sumbawa Besar, Kabarsumbawa.com – DPRD Kabupaten Sumbawa menggelar rapat paripurna dengan agenda penjelasan Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPRD Kabupaten Sumbawa terhadap 8 Rancangan Peraturan Daerah usul Prakarsa Komisi-Komisi DPRD untuk ditetapkan menjadi 8 Rancangan Peraturan Daerah usul Prakarsa DPRD kabupaten sumbawa tahun 2021.
Rapat dilaksanakan di ruang sidang utama kantor DPRD setempat, Kamis (15/07/2021) pagi. Rapat dipimpin oleh Ketua DPRD Sumbawa Abdil Rafiq SH, didampingi Wakil Ketau I dan II. Hadir, Bupati Sumbawa diwakili Asisten I, Forkompimda, Kepala OPD, Camat, serta anggota DPRD Sumbawa.
Penjelasan Badan Pembentukan Perda DPRD Kabupaten Sumbawa disampaikan oleh Sukiman K, S.Pd.I. selaku juru bicara. Adapun penjelasnnya sebagai berikut :
Pertama, Rancangan Peraturan Daerah tentang Balai Mediasi
Penjelasnnya : Masyarakat Sumbawa pada umumnya berada dalam komunitas Suku Samawa, yang memiliki tradisi hidup dan berkembang di dalam masyarakat berupa “Saling Tulung” artinya saling membantu antar warga; “Saling Tulang” artinya saling tegur sapa guna membangun keakraban antar sesama, dan “Saling Satotang” artinya saling mengingatkan.
Tradisi masyarakat Sumbawa ini, merupakan bagian dari penguatan pembagunan pondasi melalui hubungan sosial agar terhindar dari perbuatan-perbuatan yang betentangan dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat, tidak hanya itu, tradisi ini merupakan penguatan pondasi moral yang bersifat spiritual agar mendapat kebaikan di dunia maupun di akhirat.
Dalam dunia kekinian, masyarakat Sumbawa mulai dihadapkan dengan berbagai konflik, baik konflik personal maupun konflik non-personal. Konflik personal, biasanya melibatkan antara individu yang satu dengan individu yang lain, sedangkan konflik non-personal yakni konflik yang melibatkan elemen masyarakat, berupa konflik antar batas tanah, konflik SARA’, dan komflik-konflik lainnya. Berbagai komflik tersebut dapat menimbulkan jurang pemisahan dalam kehidupan masyarakat. Dan sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Sumbawa untuk melakukan penyelesaian terhadap komflik tersebut dengan menggunakan pendekatan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat yang teraktualisasikan melalui konsep musyawarah mufakat, dimana para pihak terlibat langsung di dalamnya dan dimediasi oleh salah satu pihak yang bersifat netral.
Konsep penyelesaian ini, merupakan konsep melalui mekanisme mediasi. Mediasi merupakan penyelesaian di mana salah satu cara yang ditempuh untuk menyelesaikan satu masalah yang terjadi di antara para pihak yang sedang mengalami perselisihan atau sengketa karena sesuatu hal. Mediasi dilakukan dengan melibatkan pihak lain yang selanjutnya disebut dengan pihak ketiga untuk membantu para pihak yang sedang berselisih atau bersengketa dalam menyelesaikan masalah yang sedang mereka hadapi. Proses penyelesaian masalah yang telah dilakukan secara turun termurun semenjak zaman nenek moyang kita di masa lalu melalui proses perwarisan budaya yang mengedepankan rasa kekeluargaan dalam penyelesaian masalah untuk mendamaikan para belah pihak yang sedang bersengketa melalui sarana atau proses mediasi.
Atas pertimbangan itu, budaya yang sudah lama ada dalam kehidupan masyarakat Sumbawa harus mendapat pengakuan dan melembaga serta mendapat pengaturan melalui regulasi yang natinya dapat berperan aktif dalam penyelesaian konflik yang dihadapi masyarakat melalui Balai Mediasi.
Tujuan dari pembentukan Balai Mediasi adalah untuk :
memberikan perlindungan, penghormatan dan pemberdayaan terhadap keberadaan lembaga yang ada di tengah masyarakat dan desa (kearifan lokal) dalam menjalankan fungsi mediasi; mencegah dan meredam konflik-konflik atau sengketa di masyarakat secara lebih dini; dan terselenggaranya penyelesaian sengketa di masyarakat melalui mediasi demi terciptanya suasana yang rukun, tertib dan harmonis.
Adapun materi muatan yang terkandung, yakni berisi aturan atau norma, baik berupa norma kewenangan maupun norma perilaku. Sedangkan ruang lingkup materi muatannya meliputi ketentuan umum; asas dan tujuan; pembentukan lembaga balai mediasi; mediator; jenis sengketa yang ditangani balai mediasi; prosedur penyelesaian sengketa di balai mediasi; koordinasi; pembinaan, pengawasan dan pelaporan; peran serta masyarakat; pendanaan dan ketentuan penutup.
Secara keseluruhan Rancangan Perda tentang Balai Mediasi ini terdiri atas 11 Bab dan 29 Pasal.
Dua: Rancangan Peraturan Daerah tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan di Desa
Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa yang telah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa serta peraturan perundang-undangan lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Desa merupakan kerangka hukum dan landasan kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Pembangunan di Desa.
Sebagai sebuah produk politik dan kebijakan pemerintahan, Peraturan Perundang-undangan di Desa diproses secara demokratis dan partisipatif, yakni proses penyusunannya mengikutsertakan partisipasi masyarakat Desa. Masyarakat Desa mempunyai hak untuk mengusulkan atau memberikan masukan kepada Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam proses penyusunan Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa dan kebijakan lainnya yang ditetapkan di desa.
Peraturan Desa yang mengatur kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan berskala lokal Desa pelaksanaannya diawasi oleh masyarakat Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Hal itu dimaksudkan agar pelaksanaan Peraturan Desa senantiasa dapat diawasi secara berkelanjutan oleh masyarakat Desa setempat mengingat Peraturan Desa ditetapkan untuk kepentingan masyarakat Desa. Jenis peraturan yang ada di Desa, selain Peraturan Desa adalah Peraturan Kepala Desa dan Peraturan Bersama Kepala Desa.
Tujuan diaturnya tata cara penyusunan peraturan perudang-undangan di desa adalah untuk: memberikan pedoman atau petunjuk kepada pemerintah desa dan BPD dalam penyusunan peraturan perundang-udangan di desa; memberikan informasi kepada pemerintah desa, BPD dan masyarakat terkait tata cara penyusunan peraturan perudang-udangan di desa; dapat meningkatkan kapasitas pemerintah desa dan BPD dalam penyusunan peraturan perundang-udangan di desa; dapat memberikan kepastian hukum terhadap tata cara penyusunan peraturan perundang-udangan di desa.
Adapun materi muatan yang terkandung di dalamnya, yakni berisi aturan atau norma, baik berupa norma kewenangan maupun norma perilaku. Sementara ruang lingkup materi muatannya meliputi, ketentuan umum; jenis peraturan di desa; azas dan tujuan; tata cara penyusunan peraturan di desa, evaluasi rancangan peraturan di desa; dan ketentuan penutup.
Secara umum Rancangan Peraturan Daerah tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di Desa ini terdiri dari 8 Bab dan 36 Pasal.
Tiga: Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Zakat
Membayar zakat merupakan salah satu kewajiban Umat Islam sebagai bentuk penghambaan kepada Allah SWT. Kewajiban membayar zakat merupakan perintah Allah kepada seluruh umat muslim sebagaimana yang yang diperintahkan dalam al-qur’an surat Al-baqarah ayat 43 yang artinya dirikanlah shalat dan tunaikan zakat bersama orang-orang yang ruku. Zakat sendiri terdiri dari dua yaitu zakat maal dan zakat fitrah. Zakat maal dan zakat fitrah dikumpulkan pada amil yang selanjutnya amil atau pengumpul zakat kemudian mengelola zakat tersebut dan kemudian disalurkan kepada yang berhak menerimanya.
Untuk membuat pola pengaturan zakat yang lebih baik serta untuk mmperluas asas manfaat dari zakat yaitu mengentaskan kemiskinan serta untuk mempermudah pola pengaturan, maka pada tahun 1986 lahir Peraturan Menteri Agama Nomor 4 tentang pembentukan badan amil zakat. Badan tersebut masih bersifat yayasan dan semi resmi. Dengan adanya badan amil zakat (badan pengumpul zakat), pola pengaturan dan pengelolaan zakat menjadi lebih baik sehingga pola kemanfaatan dari zakat tersebut lebih terarah dan tepat sasaran sehingga tujuan dari zakat tersebut yaitu untuk kesejahteraan umat dan untuk mengentaskan kemiskinan menjadi lebih mudah untuk dilaksaakan.
Perkembangan selanjutnya tentang zakat yaitu pasca pemerintahan Orde Baru. Pasca pemerintahan Orde Baru atau pada pemerintahan Reformasi, kedudukan Badan Amil Zakat menjadi lebih baik.Pada pemerintahan BJ Habibie, pemerintah membuat Undang-Undang Pengelolaan Zakat sehingga pada zaman itu terbit Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Sejak terbitnya undang-undang zakat, kedudukan zakat menjadi lebih kuat karena sudah mempunyai kekuatan hukum. Dengan terbitnya undang-undang tersebut, banyak bermunculan organisasi atau badan pengumpul zakat seperti BAZNAS, LAZNAS, BAZDA dan LAZ. Dengan bermunculannya organisasi tersebut ternyata belum bisa membuat sistem pengumpulan dan pendistribusian zakat berjalan dengan baik dikarenakan semua organisasi tersebut tidak berjalan beriringan dan organisasi tersebut cenderung berjalan sendiri-sendiri dan organisasi tersebut tidak ada koordinasi satu sama lain, semua lembaga zakat ingin menjadi pengelola, sementara tidak ada yang berperan sebagai pengawas dan pembuat aturan kebijakan. Sehingga Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang dinilai sudah tidak memadai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, perlu diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Untuk mengetahui efektivitas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 ini, perlu ada penelitian dan kajian terhadap undang-undang tersebut. Melalui proses kajian yang dilakukan diharapkan dapat memperoleh jawaban terhadap kegelisahan mengenai sistem pegelolaan zakat, infak dan sedekah sehingga keberadaan lembaga zakat seperti badan amil zakat atau BAZNAS dapat mengakomodir efektivitas pengelolaan zakat, infak dan sedekah itu sendiri. Terkait dengan hal tersebut, penyusunan rancangan peraturan daerah terkait dengan pengelolaan zakat, infak dan sedekah, dilakukan dalam rangka untuk mendorong efektivitas zakat, infak dan sedekah serta untuk mengoptimalkan fungsi dan keberadaan Badan Amil Zakat Nasional Kabupaten Sumbawa atau BAZNAS Sumbawa sehingga sistem pengelalaan zakat, infak dan sedekah dapat lebih terarah dan teroganisir.
Pengelolaan Zakat dimaksudkan untuk memberikan perlindungan, pembinaan dan pelayanan kepada: muzakki; munfiq; mutashaddiq; mustahiq; dan amil Zakat.
Sedangkan tujuan dari Pengelolaan Zakat adalah untuk: memberikan ruang kepada masyarakat untuk dapat menyalurkan zakat; meningkatkan daya guna dan hasil guna Zakat yaitu untuk membantu masyarakat yang kurang mampu serta untuk mengentaskan kemiskinan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat; memberikan pelayanan bagi masyarakat untuk menunaikan kewajiban dalam berzakat sesuai dengan syariat Islam; dan meningkatkan fungsi dan peran serta BAZNAS Kabupaten Sumbawa yang diberikan tugas dan wewenang oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan Pengelolaan Zakat di Daerah.
Adapun ruang lingkup materi muatan yang terkandung di dalamnya meliputi: ketentuan umum; asas, maksud dan tujuan; subyek, obyek, dan jenis Zakat; yang berhak menerima Zakat; kelembagaan Zakat; pengelolaan Zakat; pelaporan dan pertanggungjawaban; pembinaan dan pengawasan; peran serta masyarakat; larangan; sanksi administrasi; penyidikan; ketentuan pidana; dan ketentuan penutup.
Secara keseluruhan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Zakat ini terdiri dari 17 Bab dan 54 Pasal.
Empat: Rancangan Peraturan Daerah tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima
Modernisasi dan industrialisasi di perkotaan telah melahirkan berbagai jenis pekerjaan. Melimpahnya ketersediaan lapangan pekerjaan di kota telah menarik penduduk untuk melakukan urbanisasi. Arus perpindahan dari desa ke kota tersebut mendorong tingkat persaingan yang semakiin meningkat. Kondisi inilah yang menyebabkan pertumbuhan sektor informal semakin tinggi.
Pertumbuhan sektor informal sangat ditentukan oleh pertumbuhan sektor formal di perkotaan. Interdependensi antara keduanya mendorong pesatnya pertumbuhan ekonomi perkotaan. Sektor informal berperan sebagai penyedia barang dan jasa murah bagi pekerja di sektor formal. Jika sektor formal meningkat maka sektor informal juga akan tumbuh.
Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah salah satu pelaku usaha pada sektor informal. Keberadaan PKL ikut memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional maupun regional. Walaupun pemerintah belum memberikan perhatian sepenuhnya kepada PKL sebagai salah satu aktor perekonomian nasional dan daerah. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang kurang berpihak kepada PKL.
Dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Hal ini menjadi semacam pengakuan negara atas keberadaan PKL sebagai salah satu pelaku ekonomi. Negara berkewajiban untuk mendukung dan memfasilitasi serta menjamin keamanan dan kenyamanan berusaha bagi pedagang kaki lima.
Namun keberadaan PKL sering dianggap menganggu estetika perkotaan karena kumuh dan kerap melanggar ketertiban. Pedagang kaki lima kerap diusir dengan alasan penertiban tanpa diberikan alternatif kawasan untuk berusaha yang layak. PKL menghadapi ketidakpastian dalam berusaha dan mengembangkan usahanya.
Untuk itulah pemerintah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima, yang kemudian diikuti oleh terbitnya Permendagri Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Perpres dan Permendagri tersebut mendorong lahirnya peraturan daerah yang mengatur keberadaan PKL di daerah.
Keberadaan PKL di Kabupaten Sumbawa meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Terutama di ibukota kabupaten dan ibu kota kecamatan. Tumbuhnya PKL juga disebabkan oleh pengaruh arus migrasi dari desa ke kota.
Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 15 tahun 2018 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, menjadi satu-satunya acuan Satuan Polisi Pamong Praja dalam menertibkan PKL yang beraktivitas di lokasi yang dilarang. Untuk itulah dibutuhkan peraturan daerah yang khusus mengatur keberadaan Pedagang Kaki Lima.
Selanjutnya tujuan dari Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima adalah untuk : memberikan perlindungan hukum kepada PKL;
memberikan kesempatan berusaha bagi PKL melalui penetapan lokasi sesuai dengan peruntukkannya; menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan berusaha bagi PKL untuk menjadi usaha ekonomi mikro yang tangguh dan mandiri; dan mewujudkan daerah yang indah, nyaman, bersih, dan tertib dengan sarana dan prasarana yang memadai dan berwawasan lingkungan.
Untuk itu, ruang lingkup pengaturannya, meliputi: penataan PKL; dan pemberdayaan PKL. Sedangkan lingkup materi muatan yang terkandung di dalamnya meliputi: ketentuan umum; tujuan dan ruang lingkup; tim penataan dan pemberdayaan PKL; penataan PKL; pemberdayaan PKL; hak, kewajiban dan larangan PKL; monitoring, evaluasi dan pelaporan; pembinaan dan pengawasan; pendanaan; sanksi administrasi; ketentuan pidana; ketentuan peralihan; dan ketentuan penutup.
Secara keseluruhan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima ini terdiri dari 13 Bab dan 33 Pasal.
Lima: Rancangan Peraturan Daerah tentang Menara Telekomunikasi Bersama
Untuk memberikan kenyamanan berkomunikasi baik dari sisi voice dan layanan data kepada masyarakat, ada beberapa komponen yang harus dilakukan oleh operator dan juga dukungan masyarakat, salah satunya dengan mendirikan Menara Telekomunikasi atau site tempat terpasangnya BTS (Base Transceiver Station). Menara telekomunikasi adalah bangunan untuk kepentingan umum yang didirikan di atas tanah atau bangunan yang merupakan satu kesatuan konstruksi dengan bangunan gedung yang dipergunakan untuk kepentingan umum yang struktur fisiknya dapat berupa rangka baja yang diikat oleh berbagai simpul atau berupa bentuk tunggal tanpa simpul dimana fungsi, desain dan konstruksinya disesuaikan sebagai sarana penunjang penempatan perangkat telekomunikasi.
Keberadaan menara telekomunikasi dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, dimana dapat memberikan akses informasi kepada masyarakat serta dapat memudahkan masyarakat untuk berkomunikasi dan bertransaksi. Berkomunikasi dengan cepat dan akurat menggunakan perangkat alat komunikasi walupun berada di rumah, di kantor atau di tempat tertentu guna memudahkan untuk menghubungi teman, keluarga atau siapa saja untuk tujuan dan kepentingan tertentu. Begitu juga bertransaksi, dengan adanya alat komunikasi tentu memudahkan masyarakat melakukan hubungan transaksi menggunakan media sosial, baik telepon, internet dan lain-lain guna memudahkan masyarakat dalam berhubungan sosial, baik di bidang bisnis, dan bidang lainnya. Jadi, sangat wajar dengan adanya telekomunikasi bersama tentu menjadi intikator kemajuan bagi masyarakat.
Sumbawa merupakan salah satu kabupaten yang sedang gencar pembangunan menara telekomunikasi di berbagai wilayah. Mulai dari kawasan perkotaan sampai ke tingkat desa guna mendorong kemajuan masyarakat di bidang informasi dan telekomunikasi. Dengan adanya menara telemokunikasi tentu akan membuat masyarakat lebih mudah mengakses berbagai informasi.
Oleh karena itu, keberadaan rancangan peraturan daerah tentang menara telekomunikasi bersama ini sangat penting. Rancangan Peraturan Daerah ini berisi ketentuan pembangunan menara, penggunaan menara bersama, prinsip-prinsip penggunaan menara bersama, ketentuan perizinan, hak dan kewajiban, serta kolokasi dan asuransi.
Secara keseluruhan Rancangan Peraturan Daerah tentang Menara Telekomunikasi Bersama ini terdiri dari 14 Bab dan 40 Pasal.
Enam: Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Kabupaten Sumbawa sebagai salah satu daerah yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan daerah dengan tingkat intensitas transportasi yang yang cukup tinggi baik antar kota, desa hingga antar provinsi, khususnya terkait Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, maka peranan Pemerintah Daerah untuk menetapkan pengaturan dalam Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dilaksanakan sebagai upaya Pemerintah Daerah untuk menertibkan dan penataan Lalu Lintas dalam wilayah Kabupaten Sumbawa.
Pengaturan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam wilayah Kabupaten Sumbawa belum diatur dengan Peraturan Daerah atau keputusan lainnya. Oleh karena itu untuk memberikan landasan yang benar-benar kokoh dalam rangka peningkatan tertib lalu lintas dan tata ruang dalam Kabupaten Sumbawa serta kepastian hukum yang dapat menunjang kelancaran pembangunan terutama penegakan hukum atas pengamanan lalu lintas dan angkutan jalan serta pelanggaran-pelanggaran Peraturan Perundang-undangan lainnya.
Adapun tujuan Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di Daerah adalah agar: terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian dan pengembangan wilayah di Daerah; terwujudnya etika berlalu lintas di kalangan masyarakat; dan terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Sedangkan ruang lingkup materi muatan yang terkandung di dalamnya meliputi: ketentuan umum; maksud dan tujuan; kewenangan, penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan; pengujian kendaraan bermotor; teknik lalu lintas; rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas; pembinaan angkutan; ketentuan penyidikan; sanksi administrasi; ketentuan pidana; dan ketentuan penutup.
Secara keseluruhan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ini terdiri dari 10 Bab dan 156 Pasal.
Tujuh: Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembudayaan Gemar Membaca
Berdasarkan penilaian tingkat literasi masyarakat Indonesia yang dilaksanakan oleh Central Connecticut State University, Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara yang dinilai. Sementara di tingkat regional NTB, beberapa survei menunjukkan bahwa minat baca masyarakat NTB masih berada pada urutan 10 besar terbawah dari 34 provinsi secara nasional, NTB berada pada peringkat 31 dari 34 provinsi di Indonesia di atas Papua, Papua Barat dan Sulawesi Utara. Indikator rendahnya minat baca di NTB terlihat dari data 100.000 penduduk, hanya ada satu orang yang membaca buku.
Masih rendahnya minat baca masyarakat di NTB dipengaruhi masih banyaknya masyarakat yang buta aksara. Berdasarkan data BPS sesuai hasil Susenas Maret 2018, angka buta aksara atau buta huruf di NTB sebesar 12,58%, dengan rincian, Lombok Barat sebesar 16,28%, Lombok Tengah 18,58%, Lombok Timur 13,31%, Sumbawa 6,04%, Dompu 7,86%, Bima 11,6%, Sumbawa Barat 4,97%, Lombok Utara 16,09%, Kota Mataram 5,96% dan Kota Bima 7,17%.
Rendahnya kegemaran membaca masyarakat di NTB menjadi tantangan besar pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, sehingga penting untuk menggerakkan budaya membaca sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Kegemaran membaca akan berdampak pada budaya membaca, baik secara langsung maupun tidak langsung bahwa kebiasaan membaca menjadi salah satu indikator kualitas masyarakat kita.
Maka untuk menciptakan masyarakat yang memiliki kegemaran membaca, dibutuhkan suatu upaya sebagai sebuah gerakan dari pemerintah untuk membuat program yang terarah dan berkelanjutan agar warga mengerti arti penting perpustakaan dan membaca bagi kehidupan. Untuk menunjang upaya pembudaayaan gemar membaca di masyarakat perlu adanya pembinaan dan pengembangan perpustakaan di tingkat daerah maupun komunitas desa.
Keberadaan perpustakaan sebagai kelengkapan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, khusunya di Kabupaten Sumbawa masih jauh dari standar yang diharapkan. Peningkatan kapasitas pengelola perpustakaan dari Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah, merupakan salah satu upaya Pemerintah Kabupaten Sumbawa untuk meningkatkan peran dan fungsi perpustakaan sebagai bagian dari pembangunan daerah.
Kebijakan tersebut, sejalan dengan kewajiban Pemerintah Daerah yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, meliputi : (1) menjamin penyelenggaraan dan pengembangan perpustakaan di daerah; (2) menjamin ketersediaan layanan perpustakaan secara merata di wilayah masing-masing; (3) menjamin kelangsungan penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan sebagai pusat sumber belajar masyarakat; (4) menggalakkan promosi gemar membaca memanfaatkan perpustakaan; (5) memfasilitasi penyelenggaraan perpustakaan di daerah; (6) menyelenggarakan dan mengembangkan perpustakaan umum daerah berdasar kekhasan daerah sebagai pusat penelitian dan rujukan tentang kekayaan budaya daerah di wilayahnya.
Atas dasar kewajiban tersebut, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007, meliputi: (1) menetapkan kebijakan daerah dalam pembinaan dan pengembangan perpustakaan; (2) mengatur, mengawasi, dan mengevaluasi penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan; (3) mengalihmediakan naskah kuno yang dimiliki oleh masyarakat untuk dilestarikan dan didayagunakan.
Untuk itu, diperlukan Peraturan Daerah tentang Pembudayaan Gemar Membaca, yang akan menjadi landasan hukum dalam Pembinaan dan Pengembangan Perpustakaan oleh Pemerintah Daerah serta sebagai dasar hukum bagi masyarakat dalam melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007, meliputi: (1) menjaga dan memelihara kelestarian koleksi perpustakaan; (2) menyimpan, merawat, dan melestarikan naskah kuno yang dimilikinya; (3) menjaga kelestarian dan keselamatan sumber daya perpustakaan di lingkungannya; (4) mendukung upaya penyediaan fasilitas layanan perpustakaan di lingkungannya; (5) mematuhi seluruh ketentuan dan peraturan dalam pemanfaatan fasilitas perpustakaan; (6) menjaga ketertiban, keamanan, dan kenyamanan lingkungan perpustakaan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, penyelenggaraan perpustakaan bukan saja menjadi kewajiban Pemerintah Daerah melainkan juga menjadi kewajiban masyarakat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan masyarakat Kabupaten Sumbawa, sehingga perpustakaan berfungsi sebagai wahana belajar sepanjang hayat dan mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi warga Kabupaten Sumbawa yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggungjawab dalam mendukung penyelenggaraan pembangunan daerah dan nasional.
Tujuan diaturnya Rancangan Perda tentang Pembudayaan gemar membaca adalah untuk: meningkatkan dan memperbaharui pengetahuan masyarakat untuk bekal kehidupannya; memperoleh informasi baru dan mensinergikannya dengan informasi yang telah dimilikinya; dan mengembangkan potensi diri secara individual sebagai kekuatan daya saing masyarakat global.
Sedangkan ruang lingkup materi muatan yang diatur dalamnya meliputi: Pembudayaan gemar membaca melalui keluarga, kelompok masyarakat, dan satuan pendidikan; hak, kewajiban dan kewenangan; pembentukan, penyelenggaraan dan jenis perpustakaan; tenaga perpustakaan;
penghargaan; peran serta masyarakat; pembiayaan; dan pembinaan dan pengawasan.
Secara keseluruhan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembudayaan Gemar Membaca ini terdiri dari 13 Bab dan 36 Pasal.
Delapan: Rancangan Peraturan Daerah tentang Sistem Penganggulangan Gawat Darurat Terpadu
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kesehatan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 Undang Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, merupakan “Keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis”. Berdasarkan konsepsi kesehatan tersebut, maka dapat dimaknai bahwa kesehatan tidak hanya menitikberatkan pada aspek fisik saja akan tetapi sebagai suatu kesatuan yang utuh yang mengambarkan kualitas hidup seseorang yang terkandung didalamnya kesejahteraan dan produktifitas secara sosial dan ekonomi.
Untuk meningkatkan mutu kesehatan pada masyarakat harus di dorong pelayanan publik di bidang kesehatan agar lebih cepat dan efektif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dimana prinsip pemerintah yang baik adalah pemerintah yang memberikan pelayanan masksimal kepada masyrakat.
Kaitan dengan pelayanan maksimal pada masyarakat, khususnya di bidang kesehatan masih menjadi problem. Karena pelayanan kesehatan pada ibu hamil dan anak, pelayanan kesehatan keluarga, dan pelayanan kesehatan lainya belum maksimal memberikan pelayanan, sehingga banyak yang mengakibatkan kematian.
Untuk menyikapi dan mengurangi angka kematian terutama pada ibu dan anak serta angka kecelakan pada aktivitas lain yang berakibat fatal bagi kesehatan masyarakat pada umumnya, maka diperlukan penerapan sistem penanggulangan gawat darurat terpadu khususnya di fasilitas kesehatan. Sistim ini merupakan langkah awal untuk mengurangi angka kecelakan dan angka kematian pada masyarakat, berupa pelayanan pra rumah sakit, pelayanan di rumah sakit dan antar rumah sakit.
Pengaturan Rancangan Perda tentang Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu ini dimaksudkan agar menjadi pedoman dan landasan hukum dalam Penyelenggaraan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) di Kabupaten Sumbawa, yang bertujuan untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kegawatdaruratan serta mempercepat waktu penanganan (respon time) Korban/Pasien Gawat Darurat dan menurunkan angka kematian serta kecacatan. Secara umum lingkup materi muatan yang diatur di dalamnya meliputi: penyelenggaraan SPGDT; PSC (atau Pusat Pelayanan Keselamatan Terpadu); pendanaan; serta pembinaan dan pengawasan.
Secara keseluruhan Rancangan Peraturan Daerah tentang Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu ini terdiri dari 9 Bab dan 27 Pasal. (KS/aly)