Sumbawa Besar, Kabar Sumbawa – Sengketa tanah Suer Blok Lepu Desa Selante Kecamatan Plampang yang telah belasan tahun belum terselesaikan, kini mengemuka kembali, dimana permasalahan tersebut pada Kamis (9/3/17) kembali dibahas pada hearing yang difasilitasi Komisi I DPRD Sumbawa.
Hearing yang dipimpin Ketua Komisi I DPRD Sumbawa Syamsul Fikri AR, SAg M.Si menghadirkan pihak BPN Sumbawa, Kabag Hukum, BPN, Camat Plampang, Kades Plampang, Kades Sepakat dan perwakilan masyarakat pembuka lahan.
Dalam Hearing tersebut, Koordinator Warga Pembuka Lahan yang diwakili A.Zimad mengungkapkan, dimana kelompoknya yang beranggotakan 50 orang pada 1999, adalah yang pertama kali mengajukan permohonan izin buka lahan kepada Bupati.
Dimana Bupati Sumbawa saat itu masih dijabat Drs A.Latief Madjid dengan ketua kelompok atas nama H Hattap.Dan pada tahun 2000, ijin tersebut oleh Bupati dikeluarkan.
Setelah keluarnya ijin, Kelompok H.Hattap Sempat terjadi komplik terkait dengan lokasi lahan, dengan H Asin yang memiliki ijin yang sama. akan tetapi hal itu dapat terselesaikan oleh Camat Plampang kala itu dengan membagi lokasi lahan kembali.
Selanjutnya masing-masing anggota kelompok menggarap lahan tersebut dengan melibatkan warga Jembatan Kuning. Sambil diusulkan dikeluarkan pembuatan SPPT pada tahun 2000. Dan pada tahun 2001-2002 keluarlah SPPT di lokasi tersebut.
Sementara ditahun 2009, datang dari Kades Plampang yang mengakui bahwa wilayah itu merupakan wilayah Plampang,komflik kembali terjadi lagi, dan akhirnya beberapa anggota kelompok tersebut meminta perlindungan kepada Kades Selanteh.
Seiring berjalannya waktu, oleh kades Selante diberi kuasa Kepada Kades Sepakat, untuk mengamankan komplik, dan pada tahun 2011-2012 anggota kelompok yang memiliki ijin datang untuk menggarap kembali lokasi tersebut.
Namun ditengah perjalanan, Kelompok H.Hatap kembali mendapat larangan dari Kades Labangka III, dengan alasan tanah itu telah dikuasi oleh warga Labangka III.dan sejak adanya larangan tersebut hingga tahun 2016 tanah tersebut tidak ada yang mengarap.
Namun belakangan terakhir tersiar kabar bahwa tanah tersebut telah ditawarkan kepada salah satu investor seluas 300 hektar oelh Kades Sepakat. Hal itulah yang menjadi pertanyaan besar bagi kelompok pengarap akan sikap Pemerintah Desa.
Menaggapi permasalahan yang disampaikan warga pengarap, Kades Sepakat Juhardin membenarkan bahwa tanah tersebut rencananya akan ditawarkan kepada salah satu Investor, Mengenai Tanah yang di klaim H Attap, sudah tidak ada di dirinya. yang ada didirinya dalah tanah milik H.Asin yang telah disewakan.
Sementara itu, Camat Plampang, A Hasyim mengatakan, kasus ini sebelumnya telah dibahas di tingkat Kecamatan, akan tetapi pemerintah kecamatan belum melakukan tinjauan lapangan karena sesuatu dan lain hal.dalam hal ini ia berharap, penyelesaian kasus ini baiknya dimusyawarahkan terlebih dahulu.
Kabag Pertanahan Abdul Hasim yang hadir dalam hearing tersebut, menjelaskan Terkait ijin buka lahan diwilayah tersebut, setelah ditelusuri dokumennya, hanya ada 1 Ijin buka lahan yang ditemukan yakni, Ijin H. M Yasin, Nomor 699 tahun 2000.
Dengan batas wilayah, sebelah Utara berbatasan dengan Gunung, Selatan bebatasan dengan Pantai Laut Selatan, sebelah barat berbatasan dengan Sungai Lepu dan sebelah Timur dengan Berang Nentigal, sebanyak 201 orang masing-masing 2 hektar.
Hal senada juga ditambahkan oleh pihak BPN yang diwakili Nyoman Parbawa, menurutnya permasalahan ini di luar kewenangan BPN, karena belum bersertifikat, demikian juga manakala dilakukan penerbitan sertifikat.
Harus Ada penelusuran riwayat tanah, harus ada SPPT dan ada rekomendasi dari lembaga tertentu yang berkaitan dengan keberadaan tanah tersebut. dan terkait masalah ini, ia berharap camat dan kepala desa bisa memfasilitasi penyelesaikannya.
Hearing yang sempat di Skor 15 menit tersebut, akhirnya mencapai tiga kesepakatan yang tertuang dalam Rekomendasi Komisi I diantaranya, pertama meminta pemerintah daerah Melalui Bagian Pertanahan untuk segera membentuk Tim terpadu.
Serta melakukan pengecekan lapangan kelokasi lahan sengketa yakni ke Peliuk Lepu dan Arung Suer. Dan yang kedua, setiap proses jual beli dilokasi tanah yang bermasalah untuk sementara dihentikan sampai ada proses hukum jelas.
Dan yang terakhir, terhadap SPPT yang telah diterbitkan pada tahun 2001 untuk dievaluasi kembali sehingga dikemudian hari dapat diatur ulang oleh pemerintah daerah. Dan Komisi I berharap Rekomendasi tersebut dapaat menjadi acuan pemerintah daerah.(KS/JHS)