Membaca derasnya arus liberalisasi dan politis yang masuk ke dalam ruang pendidikan serta mewabahnya penyakit apatisme-hedonisme yang menjangkiti mahasiswa Sumbawa Barat secara kompleks pada hari ini, mensaratkan kita untuk menyajikan kembali kebenaran sejarah pendidikan yang sesungguhnya ke dalam jamuan mahasiswa kekinian. Almarhum YB Mangun Wijaya mengatakan: ‘… Apa guna kita miliki seratus ribu alumni sekolah yang cerdas, tetapi masa rakyat dibiarkan bodoh ? Segeralah kaum sekolah itu akan menjadi penjajah rakyat dengan kepintaran mereka”.
Menyambung yang dikatakan Mangun diatas, seorang ulama intelektual Sumbawa Barat pernah berkata “Kita akan membangun sekolah-sekolah, menggratiskan biaya pendidikan agar semua orang bisa memperoleh pendidikan, karena pendidikan adalah hak semua orang dan Negara wajib menjaminnya, serta emas-emas diwilayah tambang akan dipindahkan ke otak-otak generasi Fitrah”. Dunia pendidikan di Sumbawa Barat dibuka dengan program pendidikan gratis mulai tingkat Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi, pendidikan gratis sedikit banyaknya telah cukup membantu student mengenal apa itu pendidikan. Mengenal hakekat pendidikan bukan hanya sebatas memakai seragam pada sebuah pagi lalu bermain dengan teman sebaya, memiliki plasma nutfah dari ilmu pengetahuan itu menjadi hal urgent dalam berpendidikan itu.
Kemampuan menangkap peluang dalam permainan waktu memang semakin menentukan “waktu berubah dan kita berubah didalamnya”, tempora mulantur, et nos mutamur in illis. Jika tidak cekatan, kesempatan akan hilang di tengah dunia yang berlari tunggang langgang. Ibarat burung malam Minerva, yang dijadikan simbol kebajikan dalam mitologi Yunani karena ketajaman indera penglihatannya menembus pekatnya kegelapan malam, kaum intelektual dengan ketajaman visinya dituntut menjadi sumber pencerahan di kegelapan zaman. Hanya saja persoalannya, jangankan mampu melihat yang tidak tembus pandang dan jauh dalam kegelapan masa depan, masalah didepan mata dan terang benderang matahari saja seringkali tidak mampu diidentifikasi untuk dipecahkan bahkan dituntaskan.
Itulah sedikit gambaran kondisi kaum student intelektual Sumbawa Barat kini yang keberadaannya terlokalisasi dalam wilayah ruang dan waktu. Mahasiswa Sumbawa Barat hari ini harus kita akui dilahirkan dari “hubungan intim” oleh Negara dengan kesejahteraan rakyat, yang hingga olehnya melahirkan generasi premature dan mungkin “cacat”. Tidak semua kaum intelektual mampu melihat kompleksitas persoalan kemasyarakatan. Jenis intelektual yang mampu melakukan pekerjaan transformatif bagi kemajuan di sebut Antonio Gramsci sebagai intelektual organik, yang berbeda dengan intelektual tradisional yang hanya terikat pada pakem akademis, jauh dari sentuhan kebutuhan masyarakat.
Munculnya kaum intelektual organik atau intelektual tradisional sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan. Berilah mereka siswa-siswi itu “ASI” ketika nanti mereka akan tumbuh dengan segala penemuan-penemuan yang dimiliki oleh sejarah pendidikan. Pendidikan yang baik akan melahirkan kelompok intelektual organik, atau orang yang memiliki kesadaran kritis, bukan kesadaran naïf, dalam pengertian Paulo Freire. Sebagai bagian dari Sumbawa Barat rasanya dilematis juga apakah pemimpin pasca 2015 ini akan memilih terus pada menciptakan intelektual tradisional yang bersekolah dibawah pohon bambu milik sendiri, ataukah menciptakan intelektual organik di altar yang megah namun milik orang lain ? Pilihlah !
Oleh : Muhammad Luthfie Misbah*
*Ketua Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Kabupaten Sumbawa Barat – Malang
(IKPM KSB-Malang)