Oleh : Aisyah Mumary Songbatumis
KabarSumbawa.com – Kemenangan yang diraih oleh Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat menimbulkan kekhawatiran dari berbagai kalangan, terutama bagi para muslim di seluruh dunia. Hal tersebut disebabkan oleh pernyataan, sebagaimana yang disiarkan oleh CNN Politics, di mana ia menghina, mencaci, bahkan sampai melarang muslim untuk datang ke Amerika. Penghinaan terhadap agama Islam tersebut mengingatkan kita dengan apa yang terjadi di tanah air yaitu penistaan Al Quran yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat berkunjung di Kepulauan Seribu pada 15 November 2016 lalu.
Karakter kasar Trump yang suka memaki dan menyerang tersebut dianggap berbahaya. Sebagaimana yang digambarkan di Washington Post, rasisme dan penghinaan yang sering ditunjukkan Trump memicu kekacauan hebat, begitu juga dengan kebohongan yang sering dilakukanya. Sama halnya dengan karakter Ahok , ia diakui kejam oleh salah satu Tokoh Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI), Ratna Sarumpaet. Kedua hal tersebut telah memicu perpecahan antar masyarakat serta mengancam keutuhan Bhineka Tunggal Ika.
Menurut Hatmanto (2016), “dalam rangka menjaga dan merawat kebhinekaan, seorang pemimpin seharusnya memiliki sensitifitas multikultural”. Baik Trump maupun Ahok tidak menunjukkan sensifitas tersebut.Hatmanto menambahkan bahwa pemimpin yang kita perlukan sebenarnya adalah “pemimpin yang memiliki ‘literasi multikultural’ sehingga memiliki rasa hormat kepada kelompok lain serta memiliki toleransi terhadap simbol-simbol kesucian agama lain.” Hal tersebut terjadi bisa saja karena kurangnya kepekaan sosial akan perbedaan karena “tindakan seseorang sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya” (Fajar, 2016).Oleh karena itu, peran pendidikan multikultural sangat penting dalam rangka menumbuhkan rasa hormat pada perbedaan.
Prinsip dasar dari pendidikan multikultural adalah pengembangan sikap dan prilaku yang menghormati dan menghargai individu-individu dari kelompok-kelompok lain yang memiliki latar belakang berbeda (Sekar, 2009). Bahkan Islam pun menekankan betapa pentingnya pendidikan multikultural tersebut. Dalam Surah Al Hujurat ayat 13, Allah subhanahu wata’ala telah mengingatkan:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat tersebut merupakan salah satu landasan pengetahuan multikultural dan keberagaman. Manusia memang diciptakan dan takdirkan beragam, akan tetapi keberagaman tersebut “bukan untuk merendahkan yang lain, melainkan untuk saling mengenal agar bisa bekerjasama” (Fajar, 2016).
Akhirnya, dari kedua contoh kasus Donald Trump dan Ahok, kita dapat memetik pelajaran bahwa perbedaan bukanlah sesuatu yang negatif melainkan sesuatu yang harus dipertahankan dan dipelihara dengan rasa hormat. Sebagaimana yang diajarkan dalam Al Quran, cara mencegah perpecahan antar sesama yaitu dengan mengajarkan pendidikan multikultural.