Mataram–Untuk pertama kalinya, kebudayaan suku Bajo penghuni Pulau Bungin ditampilkan di Museum Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat, 17 hingga 22 Januari mendatang.
Event yang bertema Pameran Warisan Budaya Pulau Bungin tersebut secara resmi dibuka oleh Wakil Gubernur NTB, Muhammad Amin, Jum’at (17/01/2014) malam.
Suku Bajo yang menghuni Pulau Bungin sejak 1818 Masehi silam dianggap sebagai sebuah komunitas yang telah menghuni Nusantara sejak abad ke 1 Masehi.
Bahkan tersebar ke Madagaskar, Formosa di Taiwan dan Jepang. Tidak hanya itu, prototipe perahu bercadik tunggal sebagai identitas suku Bajo juga ditemukan Columbus di Benua Amerika dan Islandia.
“Kalau kita bicara tentang kejayaan bahari, orang-orang Bajolah pelakunya,” ujar Paox Iben Mudhaffar, Kurator Museum Negeri Mataram, dalam laporannya pada kegiatan itu. Menurut Paox, di masa penjajahan kolonial, orang-orang Bajo lah yang merompak dan menghadang kapal-kapal Belanda, Portugis, Spanyol pun dijarah. Karena itulah Kesultanan Sumbawa, orang-orang Bajo dipercaya sebagai penjaga perairan Kesultanan, salah satu nama yang terkenal adalah Panglima Mayo atau Abdullah Mayo. Ia menjelaskan, setelah Indonesia merdeka, kita tidak punya fasilitas penghubung pulau-pulau yang ada di Nusantara.
Keberadaan para pelaut menjadi ujung tombak untuk menghubungkan antar Pulau. Tentu mereka adalah orang-orang Bajo. Ketika Indonesia diblokade Belanda tutur Paox, orang-orang Bajo lah yang menyelundupkan persenjataan melalui jaringan mereka di Vietnam, Malaysia dan Formosa. Tetapi di era orde baru pembangunan berubah, di era orde lama pesisir sangat diperhatikan.
Tapi di era orde baru pembangunan berorientasi di darat. Sehingga wilayah pesisir menjadi wilayah yang paling ditinggalkan. Bahkan orang-orang Bajo yang jumlahnya sekitar 17 juta di kepulauan Indonesia jauh di atas suku Sasak, Samawa dan Mbojo digabungkan. Di NTB saja, penyebaran suku Bajo di Pulau-pulau kecil di Lombok, seperti Gili Meno, Gili Air, dan Gili Trawangan hampir seluruhnya dihuni suku Bajo.
“Kalau saya tidak salah, di NTB saja kita memiliki sekitar 400an Pulau-Pulau Kecil, yang hampir seluruhnya dihuni oleh masyarakat Suku Bajo. Artinya, pameran ini berkehendak bahwa masyarakat tidak hanya pemerintah mulai berpikir kita hidup di keliling lautan. Untuk itu mulai berpikir agar menghidupkan sektor kelautan, sehingga tidak ada lagi suku tertinggal atau orang-orang yang termarjinalisasikan, itu harapannya,” ungkap Paox Iben.
Sebagai kurator pameran sambungnya, tantangannya luar biasa karena menghadirkan Pulau Bungin, sehingga seluruh icon penting di Pulau Bungin dihadirkan termasuk manusianya. Supaya bisa berinteraksi langsung dengan masyarakat. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB, Muhammad Nasir, dalam sambutannya, mengutarakan, bahwa museum dalam melakukan pameran tidak hanya mengajukan koleksi sendiri tapi bisa bekerjasama dengan masyarakat atau instansi lainnya.
Selain untuk melengkapi materi pameran juga untuk memberi ruang warisan budaya yang tidak terdapat di museum untuk dapat disajikan dan diinformasikan kepada masyarakat luas. Oleh karena itu Museum Negeri NTB bekerjasama dengan Pemda Sumbawa khususnya masyarakat Pulau Bungin memamerkan warisan budaya Pulau Bungin. Pulau Bungin jelas Nasir, merupakan salah satu tempat di NTB yang mempunyai suatu keunikan dalam sejarah dan budaya.
Pulau Bungin ini harus diinformasikan kepada masyarakat NTB yang tidak mengenal dan mengetahui terutama dalam hal sejarah dan budayanya. Pada kesempatan yang sama, Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat, Muhammad Amin, saat membukan kegiatan ini memaparkan, kegiatan ini untuk merekatkan kembali tradisi bahari khususnya tradisi bahari Pulau Bungin.
Merupakan suatu wujud perhatian untuk menghargai tradisi yang kita miliki di masa lampau. “Yang lebih penting bagi kita bagaimana cara kita menjaga dan melestarikan warisan budaya ini khususnya dari keturunan Bajo, Bugis dan sebagainya,” ungkap
mantan Ketua DPRD Sumbawa itu. Dalam konteks ini sambung Amin, pemerintah bertugas untuk melestarikan warisan budaya mempunya kewajiban untuk memfasilitasi penyebarluasan informasi tentang Pulau Bungin.
Pertahankan Kearifan Lokal Menurut Wagub, di Pulau Bungin dikenal dengan salah satu kearifan lokal masyarakat yang mereklamasi permukiman menggunakan susunan bebatuan karang laut. Proses ini sudah berkembang sejak lama dan turun temurun hingga menjadi salah satu syarat bagi pemuda yang hendak melamar calon istrinya.
“Biarlah Bungin itu berkembang dengan kearifan lokalnya dan menambah warganya. Salah satu syarat yang kawin dengan membangun pondasi dari batu. Sehingga pengumpulan batu karang setiap waktu pasti terjadi dan penambahannya terus terjadi. Tidak mungkin dibatasi, namun demikian kelestarian alam dan budaya tetap terjaga agar Bungin tercatat dalam sejarah,” cetus Wagub NTB.
Ia berharap agar kearifan lokal Pulau Bungin bisa dijaga. Dengan momentum ini bisa menjadi tonggak untuk mempertahankan tradisi dan budaya yang berkembang di Pulau Bungin. Pada Pameran Warisan Budaya Pulau Bungin tersebut, juga menampilkan tarian tradisional Sumbawa.
Pameran ini menampilkan keunikan tradisi Pulau Bungin yang terekam dalam jenis-jenis peralatan nelayan, warisan Panglima Mayo berupa Pataka Peran, surat-surat dari anak Panglima Mayo ketika dalam pengasingan di Meulaboh yang dituliskan dalam aksara arab dan pernak-pernik pengobatan tradisional Tiba Raki. Perlengkapan nelayan yang dipamerkan, diantaranya lesung kuno, perahu bercadik satu, jaring dan jala, alat penangkap kerang mutiara, tombak penangkap Hiu, Buaya dan Penyu beserta Buaya dan Penyu hasil tangkapan yang diawetkan.
Ada juga tiang rumah panggung, batu pondasi rumah panggung, dan beberapa benda-benda warisan budaya lainnya seperti pecahan keramik peninggalan permukiman suku Bajo di Pulau Panjang dan sekitar Selat Alas ketika Tambora meletus pada tahun 1815 Masehi. Pameran ini akan berlangsung hingga 22 Januari mendatang. (k)