Mataram, Kabarsumbawa.com – Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) bersama dengan Koalisi 18+ bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi NTB menyelenggarakan dialog kebijakan publik bertemakan “Dilematik Dispensasi Kawin dalam Perkawinan Anak di Nusa Tenggara Barat”,
Kegiatan yang digelar, Rabu (20/03/2024) pagi di kantor Gubernur NTB itu, digelar sebagai respon penomena kawin anak masih kerap terjadi dengan salah satu celahnya adalah melalui permohonan dispensasi ke pengadilan.
Dalam rilis resmi yang diterima media ini dari Yayasan Plan International Indonesia, menyebutkan bahwa NTB memiliki angka perkawinan anak di atas rata-rata nasional. Meskipun angkanya menurun menurut Susenas, dari 16,61% di 2020, menjadi 16,23% di 2022, penurunan ini masih kurang signifikan.
Pemerintah Provinsi NTB telah berinisiatif mengeluarkan serangkaian kebijakan, di antaranya Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak dan Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor 34 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Daerah Pencegahan Perkawinan Anak Tahun 2023-2026. Meskipun demikian, perkawinan anak masih kerap terjadi, salah satunya dilakukan melalui jalur dispensasi.
Dialog kebijakan publik yang digelar hari ini menjadi strategis karena melibatkan berbagai pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan yang berwenang dalam perihal dispensasi kawin anak. Selain Plan Indonesia dan Pemprov NTB, turut hadir Perwakilan Mahkamah Agung, Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama, Majelis Adat Sasak, perwakilan Ulama Perempuan Indonesia, serta anak pendidik sebaya.
Direktur Eksekutif Plan Indonesia, Dini Widiastuti, yang turut hadir menyatakan bahwa temuan di lapangan dan konsultasi anak menunjukkan pentingnya penguatan peran masyarakat dalam pencegahan perkawinan anak, termasuk tokoh agama dan adat.
“Perlunya pengawasan dan dukungan organisasi kemasyarakatan, serta komunitas anak dan kaum muda – termasuk Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) – masyarakat termasuk sekolah untuk mampu mengenali risiko, melaporkan kasus, dan merespon kasus perkawinan anak,” tandas Dini.
Kepentingan Terbaik untuk Anak
Plan Indonesia bersama dengan Koalisi 18+ dalam kesempatan ini juga meluncurkan kertas kebijakan tentang Pemenuhan dan Perlindungan Hak Anak dalam Permohonan dan Putusan Dispensasi Usia Perkawinan yang disusun oleh Plan Indonesia. Studi ini juga diharapkan dapat menjadi masukan terhadap Mahkamah Agung dalam melakukan evaluasi atas PERMA 5/2019.
Ronald Rofiandri, Manager Kebijakan dan Advokasi Plan Indonesia, sebagai salah satu peneliti memaparkan salah satu temuannya yaitu putusan dispensasi kawin masih belum berorientasi pada kepentingan terbaik bagi anak, justru putusan dapat memperburuk keadaan anak, khususnya anak perempuan.
“Pada implementasinya masih membutuhkan penyempurnaan dengan memastikan keterlibatan anak dan mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Pendapat atau keterangan secara independen termasuk alasan mendesak dikaitkan dengan kepentingan terbaik bagi anak untuk masa kini dan masa depan dalam penetapan dispensasi kawin masih tidak terlalu dipertimbangkan oleh hakim,” tambah Ronald.
Riyad sebagai pendidik sebaya dan youth advocate yang memiliki pengalaman mendampingi rekan sebaya dalam mencegah perkawinan anak berbagai pengalamannya dalam forum ini. Ia mengatakan bahwa, sejak menjadi pendidik sebaya, kami sudah menuntaskan 5-6 kasus perkawinan anak sebelum dikawinkan. Namun, dalam upaya ini, kami menghadapi berbagai kendala seperti pemangku kepentingan yang meremahkan perkawinan anak.
“Perlu banyak solusi dilakukan seperti hadirnya PATBM, Perdes-Perdes perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak serta dana desa untuk upaya ini. Kaum muda juga harus dilibatkan lebih dalam program-program pemerintah dalam berbagai level,” jelasnya.
Menurut Kadis DP3AP2KB NTB, Dra. Nunung Triningsih, M.M, bahwa NTB sudah memiliki Perda dan awik-awik, namun sanksi yang masih belum diterapkan secara tegas yang menyulitkan dalam menindak pelaku perkawinan anak.
“Komitmen kita bersama dalam melakukan pencegahan perkawinan anak dan jika kita melakukan bersama, angka kasus perkawinan bisa menurun,” ucap Nunung.
Merespon hal ini, Prof. Dr. Amran Suadi, S.H., M. Hum., M.M, Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung menyatakan, setelah terbitnya UU No. 16 Tahun 2019, Mahkamah Agung segera merespon dengan menerbitkan Perma No. 5 Tahun 2019 sebagai upaya mencegah perkawinan pada usia anak. Hakim selalu berupaya memastikan kepentingan terbaik bagi anak dengan memeriksa permohonan dispensasi dengan cermat. “Kami juga meyakini bahwa berbagai alasan pengajuan dispensasi kawin dengan alasan kehamilan tidak sejalan dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak.” Ujarnya.
Penegasan dari perspektif agama ditekankan oleh Dr. Nur Rofiah, Ulama Perempuan dari KUPI yang turut hadir. Menurutnya, bagi anak-anak yang sudah mengalami perkawinan anak, tetap harus dipastikan hak-hak mereka tetap terpenuhi sebagaimana anak-anak lainnya.
“Perkawinan anak akan membahayakan anak perempuan, karena mereka akan hamil, melahirkan, yang bagi orang dewasa sudah melelahkan, apalagi anak-anak,” sebutnya.
Mamik Raden, perwakilan Majelis Adat Sasak yang juga merupakan penggerak GAMAK (Gerakan Anti Merarik Kodek) menolak praktik perkawinan anak atas dasar adat budaya yang masih kerap terjadi di masyarakat. Menurutnya, dalam tradisi suku Sasak, perkawinan perempuan dan laki-laki itu harus sudah dewasa, tidak hanya dari segi usianya namun juga berbagai pertimbangan lainnya.
Sehingga, kami juga memiliki berbagai sangsi adat bagi yang melanggar ini.” Tukasnya.
Plan Indonesia melalui Program Generasi Emas Bangsa Bebas Perkawinan Usia Anak (Gema Cita) berfokus pada pencegahan kehamilan remaja, kekerasan terhadap anak, dan perkawinan anak melalui penguatan kapasitas Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan dan anak perempuan di Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Sukabumi. Hingga Gema Cita telah melatih dan memfasilitasi lebih dari 5.400 remaja dan kaum muda serta 182 anggota PATBM dan 310 pendidik sebaya untuk upaya pencegahan perkawinan anak.
Plan International telah bekerja di Indonesia sejak 1969 dan resmi menjadi Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) pada 2017. Yayasan Plan International Indonesia bekerja untuk memperjuangkan pemenuhan hak anak dan kesetaraan bagi anak perempuan. Yayasan Plan International Indonesia juga bekerja bersama kaum muda, untuk memastikan partisipasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan terkait hidup mereka.
Sebagai bagian dari Plan International Inc., Plan Indonesia memiliki program anak sponsor. Plan Indonesia telah membina 36 ribu anak perempuan dan laki-laki di Nusa Tenggara Timur, dengan lima komitmen untuk memenuhi hak dasar mereka, yaitu hak atas akta kelahiran, vaksin dasar, air bersih, sanitasi, dan kebersihan, juga pendidikan.
Plan Indonesia bekerja pada 8 provinsi melalui tujuh program tematik, yaitu Pencegahan Gagal Tumbuh Anak, Penghapusan Kekerasan terhadap Anak dan Kaum Muda, Kesehatan Remaja, Ketenagakerjaan dan Kewirausahaan Kaum Muda, Sekolah Tangguh, Kesiapsiagaan Bencana dan Respons Kemanusiaan yang Responsif Gender, juga Resiliensi Iklim yang Dipimipin oleh Kaum Muda.
Program-program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan, agensi, dan gerakan sosial yang melibatkan dan menargetkan agar 3 juta anak perempuan mendapatkan kekuatan yang setara, kebebasan yang setara, dan representasi yang setara.
Program Gema Cita berfokus pada pencegahan kehamilan remaja, kekerasan terhadap anak, dan perkawinan anak. Program ini bertujuan agar anak dan kaum muda, khususnya perempuan, mampu membuat keputusan yang tepat untuk hidup bebas dari perkawinan anak dan kehamilan remaja.
Gema Cita bergerak melalui peningkatan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan dan anak perempuan di Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Nagekeo. Implementasinya dilakukan melalui kerja sama dengan pemerintah desa, sekolah, remaja, dan kaum muda. Khususnya, dalam membentuk dan menjalankan Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) di 6 desa, juga mewujudkan Sekolah Ramah Anak (SRA) di 13 sekolah dari 3 kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Nagekeo, sejak Januari 2022. (KS)