OLEH: SYAIFULLAH, S.Ag – Mahasiswa Program Pascasarjan Manajemen Inovasi UTS
Sumbawa Besar, Kabarsumbawa.com – Tarbiyah, education atau istilah lain tentang pendidikan yang sepenuhnya memilki arti dan makna yang sama yaitu meberikan perubahan dalam hidup dan kehidupan seseorang. Pendidikan menajadi sarana utama dalam membentuk manusia-manusia yang cerdas, unggul, inovatif, kreatif dan tentunya memiliki nilai lebih dibanding yang lainnya. Pendidkan menjadi tolok ukur kemajuan suatu bangsa dan negara.
Mencerdaskan kehidupan bangsa salah satu substansi dari Undang-Undang Dasar 1945 yang memilki tujuan negara harus mampu memberikan kecerdasan kepada rakyat dan masyarakat bangsa, lewat pendidikan. Sesuai dengan amanah undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memilki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarkat, bangsa dan negara.
Pendidikan nasional berfungsi dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dari tujuan pendidikan pendidikan nasional tersebut tergambar sosok manusia yang utuh yang hendak dibangun, baik utuh kecerdasan spiritual dan moral, kecerdasan emosional dan estetika, kecerdasan intelektual dan profesional, maupun kecerdasan sosial dan fungsioanl (Haedar Nasir, 2013: 14).
Era modernisasi dan globalisasi yang terus meramabah setiap sisi dan sudut kehidupan manusia lebih-lebih merambah sistem pendidikan nasioanal. Era ini mengajak kita untuk lebih pekah, responsif untuk mencari formula baru dalam menyelesaikan problem pendidikan bangsa ini. Era kompetisi sekarang menuntut kita sebagai objek untuk melihat lebih jauh mengenai perkembangan dunia pendidikan dan teknologi informasi dalam menjawab tantangan global. Dalam mazhab pendidikan Jhon Deway (2001: 3), democracy and Education diawali dalam bab awal “ education as a necessity of life” yaitu pendidikan sebagai kebutuhan hidup. Jelas bahwa pendidikan dikatakan sebagai needs dalam hidup manusia, karena dengan pendidikan itu menjadikan manusia sebagai mahluk sosial dapat berinteraksi, berkomunikasi, bertukar pengalaman dengan manusia yang lain, sehingga akan tercapai satu konsensus bersama.
Dalam konteks ini, manusia harus mampu menempatkan pendidikan sebagai sebuah kebutuhan yang harus terpenuhi dalam kehidupannya. Menjawab tantangan global yang begitu kompleks, seyogiyanya kita dituntut untuk terus bergerak, berjalan mencari sumber-sumber ilmu penetahuan yang dapat dijadikan rujukan dalam melakukan tranformasi diri menuju pada sebuah keyakinan yang matang bahwa dengan pendidikanlah kita akan mengalami kemajuan.
Perlu penulis elaborasi terkait dengan paradigam dasar tentang paradigm pendidikan progresif profetik adalah gabungan dua mazhab pendidikan yang kurang lebih memilki satu arah dalam menjadikan manusia cerdas, maju dan bersaing dan memiliki sikap progresivitas yang kuat bersandar pada sifat kenabian. Pendidikan progresif adalah satu paradigma pendidikan melihat manusia dan dunia bersifat evolusionistik ( bahwa dunia dan isinya terus mengalami perubahan) meyakini bahwa manusia sebagai objek memiliki kecerdasan yang memadai dapat melakukan langkah-langkah kemajuan yang mendorong kearah kemajuan (progresif).
Begitu juga dengan pendidikan profetik bahwa dapat dipahami sebagai seperangkat teori yang tidak hanya mendeskripsikan dan mentransformasikan gejala sosial, dan tidak pula hanya mengubah suatu hal demi perubahan, namun lebih dari itu, diharapkan dapat mengarahkan perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik. Artinya bahwa pola pendidikan profetik didasarakan pada bagaimana seorang Nabi yang memiliki kecerdasan spiritual, individual, dan sosial yang tentunya bertujuan agar kehidupan manusia begerak maju dan memilki perubahan yang baik.
Kountowijoyo (2004: 92) menjelaskan bahwa ilmu sosial profetik itu dapat dijadikan tolok ukur perubahan sosial dalam kehidupan tercakup pada pada tiga kandungan Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 110 yaitu: “Engkau adalah umat yang terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan (amar ma’ruf), mencegah kemungkaran (nahi mungkar) dan beriman kepada Allah SWT (tu’minu billah)”. Dalam konteks ini pula, Kuntowijoyo menginterpretasikan bahwa ayat di atas memuat tiga pilar dasar, yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi. Humanisasi sebagai derivasi dari amar ma’ruf mengandung pengertian kemanusiaan. Liberasi yang diambil dari potongan ayat nahi mungkar mengandung pengertian pembebasan/ membebaskan. Transendensi adalah dimensi faktual tentang keimanan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Ketiga pilar utama dari nilai profetik ini, tentunya mempunyai implikasi positif dan konstruktif yang lebih humanitik dalam hidup dan kehidupan manusia.
Berangkat dari kandungan ayat di atas, maka penulis akan mengelaborasi tiga pilar utama dalam memahami konsep teoretik nilai-nilai profetik.
A. Humanisasi
Humanisasi merupakan arti kreatif dari kalimat amar ma’ruf yang memilki makna asal menganjurkan atau menegakkan kebaikan. Amar ma’ruf bertujuan untuk meningkatkan dimensi positif manusia yang membawa kembali kepada pentunjuk Ilahi untuk mencapai keadaan fitrah. Fitrah dalam artian mengembalikan diri manusia pada poisisi yang sebenarnya yaitu memanusiakan diri menjadi manusia yang gemar berbuat kebaikan, kemulian. Memanusiakan manusia dengan cara menghilangkan kebendaan, ketergantungan, dan kekerasan, serta kebencian dalam dirinya. Adapun ciri humanisasi dalam pendidikan sebagai bagian dari makna yang bertujuan menganjurkan atau mengakaan kebaikan dalam hidup manusia: Pertama, kerjasama dan gotong royong. Kedua, pendidikan atau menuntut ilmu. Ketiga, menjaga kesehatan. Keempat, sikap kedarmawanan. Kelima, sikap tenggangrasa, dan kepedulian dengan sesama.
B. Liberasi
Liberasi merupakan terjemahan dari nahi munkar yang berarti melarang atau mencegah segala tindakan kejahatan dalam kehidupan. Liberasi memilki arti pembebasan terhadap segala bentuk determinasi kultural dan struktural seperti kemiskina, kebodohan, ketertinggalan, keterbelakangan. Liberasi dalam konteks profetik menjadikan agama sebagai nilai-nilai transendental, sehingga agama menjadi ilmu yang objektif dan faktual. Liberasi bukan hanya dalam koteks tataran moralitas tetapi dilakukan secara kongkret dalam realitas kemanusiaan.
C. Transendensi
Merupakan terjemahan dari tu’minuna billah yang berarti beriman kepada Allah. Konsep ini merupakan jiwa dalam proses humanisasi dan liberasi. Proses memanusiakan manusia dan melakukan proses pembebesan merupakan instrumen untuk kembali kepada Tuhan. Yang menjadi ciri dari transendensi ini adalah istiqomah dalam beribadah, selalu bersyukur, tawadduh (rendah hati), dan taat dalam melaksankan ibadah (sholat, puasa, sodaqoh).
Membicarakan mengenai posisi nilai-nilai profetik dalam kehidupan manusia, maka tidak lepas dari bagaimana posisi penting nilai-nilai profetik dalam dunia pendidikan sebagai wahana startegis untuk dikonstruksikan menjadi sesuatu yang lebih bernilai sehingga dapat diimplementasikan dalam kehidupan praktis masyarkat, guru dan siswa.
Tiga substansi konsepsi yang secara holistik ditawarkan oleh Kuntowijoyo yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi harus mampu dikonstruksikan dalam bentuk nilai-nilai kongkrit dan spesifik. Nilai-nilai profetik menjadi refleksi historis bagaimana pola hidup Nabi baik dalam hal berkomunikasi, berinteraksi, belajar, mengajar dan bagaimana mengambil sebuah keputusan dalam hidup dan kehidupannya. Berikut ini akan disajikan beberapa nilai profetik yang dijadikan pilar dalam kaitannya dengan pendidikan. Nilai-nilai profetik dalam pendidikan sangat penting karena akan membentuk sebuah karakter yang berjiwa kenabian dalam jiwa seorang pendidik dan peserta didik. Nilai-nilai profetik yang dapat dikonstruksikan dalam membentuk karakter dan kepribadian:
1. Sadar sebagai makhluk ciptaan Tuhan, Menyadari eksistensi diri sebagai makhluk yang mampu memhami dirinya, hidupnya, alam sekitar dan Tuhan Yang Maha Esa. Konsepsi ini dibangun dari nilai-nilai transendental (Muchlis, 2011: 76). Transendensi dalam teologi Islam berarti percaya kepada Allah, kitab Allah.
2. Bermoral, manusia diciptakan oleh Tuhan untuk hidup jujur, berbudi pekerti luhur, tidak sombong, tidak angkuh dan selalu menekankan sikap egaliter dalam hidupnya. Moral adalah suatu nilai yang terdapat dalam diri manusia yang harus dijaga, dipelihara, dan diimplimentasikan dalam hidupnya.
3. Lemah lembut, Sikap lemah lembut adalah ciri dari seorang manusia yang berketuahan. Sani dan Kadri (2016: 99) menyatakan bahwa ciri seorang mauslim yang baik adalah berlaku lemah lembut bagi sesama manusia. Prilaku lemah lembut sangat dibutuhkan dalam mendidik, membimbing, dan mengarahkan anak didik dalam proses pembelajaran.
4. Santun, santun adalah sikap dan cara hidup yang harus ada pada diri seorang manusia. Bersikap santun adalah cara hidup yang ada pada diri seorang nabi (Propet). Santun adalah bagian kategori dari sebuah kesantunan dalam berbahasa. dalam hidup manusia sangat dibutuhkan sikap dan pola hidup santun karena itu merupakan bagian dari budaya hidup Nabi. Djatmika (2016: 76), menyatakan santun bila dilhat dari kacamata linguistik misalnya berbicara pelan, tidak tertawa terbahak-bahak, memilih bahasa halus dalam interaksinya, dan sebagaianya.
5. Jujur, jujur adalah satu kata yang memiliki arti lurus, terbuka, tidak bohong, mengkuti aturan dan lain sebagianya. Kata ini jelas memiliki hubungan dengan misi profetik yang melakat pada diri seorang nabi. “Shidiq (ash-sidqhu) adalah sifat yang melakat pada diri nabi yang artinya benar atau jujur, lawan kata dari bohong atau dusta (Yunahar Iliyas, 2014: 81).”
6. Pemaaf, bahwa pemaaf adalah sikap memberi maaf terhadap kesalahan orang lain tanpa ada sedkit pun rasa benci dan keinginan untuk membalas dendam. Dalam konteks ini, salah satu misi profetik dalam kaitannya dengan kesantunan berbahasa adalah kita untuk selalu memberi maaf kepada siapa pun yang berbuat salah kepada kita. Dalam hal bertutur, penutur harus mampu berbicara baik di depan lawan tutur dengan menggunakan tuturan yang baik yang tidak menimbulkan masalah. Tuturan yang baik dan tidak menyinggung orang lain adalah salah satu sifat yang melekat pada diri seoang nabi.
7. Nilai-nilai yang harus diperhatikan dalam ilmu profetik atau pendidikan profetik seperti yang dijelaskan oleh Shri (2016: 142) yaitu: (1) kejujuran selaras dengan firman Allah Swt dalam Q.S. Al-Baqarah: 42 “ Hai orang-orang beriman, betakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”. Ayat tersebut adalah basis etos kerja sama, dan kejujuran. Sikap jujur, baik terhadap diri sendiri dan orang lain harus terus dijaga. (2) tawadhu (rendah hati)sikap rendah hati yaitu lawan kata dari sikap sombong. Sikap renda hati ini harus dijaga, dipelihara, dan diterapkan dalam kehidupan. Rendah hati dihadapan orang lain, orang lebih besar, seperti guru terhadap murid, dosen terhadap mahasiswa. (3) apresiatif (menghargai) dalam Q.S. An-Nisa: 148 Allah berfirman “ Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang, kecuali oleh orang-orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui.” Salah satu cara menghargai orang lain adalah bertutu kata dengan baik, sopan, dan santun. Menghargai orang lain dengan cara yang baik, dapat menciptakan hubungan sosial yang labih baik, nyaman, dan aman.
Nilai-nilai profetik yang dikonstruksikan dalam pendidikan tidak jauh beda bahkan hampir sama dengan empat sifat dasar yang dimiliki oleh nabi. Seorang nabi harus memiliki sifat-sifat mulia yang mencerminkan akhlak dan kepribadian rasul. Sifat, dan karakter tersebut penting untuk dimiliki agar segala perbuatan rasul baik dalam hal berbicara, beriteraksi, belajar, mengajar dan bersosialisasi dalam lingkungannya dapat menjadi suri teladan yang bisa diikuti oleh semua orang terutama umatnya. Ada empat sifat wajib yang dimiliki rasul yang merupakan karakter Nabi Muhammad dalam menjalankan tugasya sebagai pemimpin sekaligus guru bagi umatnya, yaitu sidiq, amanah, tablik, dan fathonah (Sani dan Kadri, 2016: 49).
Berangkat dari dua paradigma di atas, akan lahir satu pilar pendidikan yang disebut berpenciri. Pendidikan berpenciri sebagaimana dikemukakan oleh Harun (2016) yaitu pendidikan yang mengedepakan aspek proses, aspek inovasi, dan aspek perubahan lainya. Pendiikan berpenciri ini juga menekankan pada kecerdasan, akal dan outputnya. Ketika ini dapat ditemukan dan dilakukan dengan baik, maka tentunya akan kita dapatkan predikat yang baik karena didasarkan oleh reputasinya yang baik pula. (KS)