Oleh : Nurhairunnisah, M.Pd
Mahasiswa S3 Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya
Kabarsumbawa.com – Perubahan kurikulum di Indonesia selalu datang dengan harapan besar bahwa pembelajaran akan lebih manusiawi, lebih kreatif, lebih relevan, dan lebih dekat dengan kebutuhan zaman. Namun setiap kali euforia itu mereda, kita kembali pada pertanyaan yang tak pernah tuntas dijawab: mengapa masalah belajar tetap stagnan meskipun kurikulum terus diperbarui? Kita mempercantik dokumen, mengganti istilah, menambah modul, dan menyusun capaian pembelajaran, tetapi ruang kelas tetap menghadapi persoalan yang sama: siswa sulit memahami bacaan, guru kewalahan mengelola pembelajaran, dan proses belajar lebih sering mengejar administrasi ketimbang kualitas.
Dari kacamata teknologi Pendidikan yaitu bidang ilmu yang fokus memecahkan masalah belajar secara sistematis, kita melihat bahwa perubahan kurikulum sering kali tidak menyentuh akar persoalan. Kurikulum baru tiba sebelum masalah lama selesai diurai; ia hadir sebagai solusi dari atas, padahal masalah belajar terjadi di bawah, di dalam ruang kelas. Kita mengubah struktur mata pelajaran, tetapi tidak mengubah cara guru merancang pembelajaran. Kita memperkenalkan istilah baru seperti pembelajaran seperti pembelajaran diferensiasi sekaligus kerangka Profil Lulusan 8 Dimensi yang menuntut pembelajaran mendalam (deep learning), tetapi tidak menyelesaikan persoalan desain instruksional yang mendasar. Akhirnya kurikulum sekadar menjadi simbol perubahan, bukan instrumen transformasi.
Ironisnya, yang paling menderita bukanlah dokumen kurikulum, melainkan manusia di balik kelas: guru dan siswa. Guru diminta menjadi fasilitator, inovator, motivator, sekaligus ahli teknologi, tetapi mereka tidak diberi pendampingan memadai untuk menjalankan semua peran itu. Sementara siswa dihadapkan pada tuntutan belajar yang berubah begitu cepat, padahal kebutuhan mereka justru stabil: mereka membutuhkan pembelajaran yang dirancang berdasarkan bagaimana mereka belajar bukan berdasarkan bagaimana negara ingin terlihat berkembang.
Karena itulah kita harus berani mengakui kenyataan: kurikulum dapat diganti berulang kali, tetapi masalah belajar tidak akan selesai jika ekosistem pembelajaran tidak disentuh. Perubahan kurikulum tanpa perubahan desain pembelajaran hanyalah rutinitas administratif; ia tidak mengubah kualitas pengalaman belajar. Dan selama kita tidak menggunakan pendekatan sistematis untuk memecahkan masalah belajar dan meningkatkan kinerja, sebagaimana disyaratkan oleh praktik Teknologi Pendidikan, maka kita akan terus berada dalam lingkaran yang sama: kurikulum berganti, tetapi pembelajaran tetap di tempat.
Kebijakan yang Bergerak Lebih Cepat dari Realitas Kelas
Reformasi kurikulum sering digerakkan oleh urgensi politik, bukan urgensi pedagogik. Kita ingin cepat menyamai standar pendidikan negara maju, padahal konteks dan kapasitas kita berbeda jauh. Kurikulum Merdeka, misalnya, membawa gagasan progresif: pembelajaran diferensiasi, asesmen autentik, penguatan karakter Profil Lulusan 8 Dimensi, dan fleksibilitas. Namun gagasan yang baik belum tentu otomatis menjadi praktik yang baik.
Dalam perspektif teknologi pendidikan, setiap perubahan harus diawali dengan analysis of performance problems atau analisis masalah belajar secara komprehensif. Sayangnya, kajian yang bersifat akar rumput ini sering kali absen. Akibatnya, reformasi kurikulum lebih banyak berangkat dari dokumen ideal ketimbang realitas kelas. Kita lupa bahwa kebijakan hanya berguna jika selaras dengan konteks pengguna.
Guru di kota besar mungkin siap mengimplementasikan perangkat digital, tetapi guru di pedalaman bahkan kesulitan mendapatkan buku ajar konsisten. Guru yang sudah terbiasa dengan model pembelajaran kolaboratif mungkin siap menjalankan proses pembelajaran mendalam, tetapi banyak sekolah yang bahkan tidak memiliki ruang kelas layak untuk aktivitas itu. Di sinilah jarak antara kurikulum dan kenyataan semakin terasa.
Desain Pembelajaran: Kekosongan yang Tidak Pernah Diisi
Teknologi pendidikan mengajarkan bahwa pembelajaran tidak akan terjadi tanpa desain yang tepat. Namun dalam perubahan kurikulum kita, desain pembelajaran justru menjadi titik lemah terbesar. Kita memberi guru daftar capaian pembelajaran, modul ajar, dan contoh projek, tetapi tidak mengajari mereka bagaimana merancang pembelajaran itu dari nol, terutama mentransformasikan Capaian Pembelajaran menjadi pengalaman deep learning.
Padahal inti dari pemecahan masalah belajar adalah desain: bagaimana guru menganalisis kebutuhan siswa, merumuskan tujuan belajar, memilih strategi pembelajaran, mengolah sumber belajar, menentukan teknologi pendukung, dan mengevaluasi kemajuan belajar. Tanpa kemampuan ini, kurikulum apa pun akan dijalankan secara mekanis, bukan pedagogis.
Guru akhirnya terjebak pada pemenuhan administrasi perangkat kurikulum. Mereka membuat ATP, modul ajar, atau rubrik asesmen hanya untuk memenuhi kewajiban, bukan sebagai hasil refleksi profesional. Ketika desain pembelajaran menjadi kegiatan administratif, kurikulum kehilangan jiwa. Dan ketika guru tidak didampingi untuk mengembangkan kapasitas desain instruksionalnya, proses belajar pun tidak berubah.
Kapasitas Guru: Pilar Utama yang Tak Pernah Menjadi Prioritas
Tidak ada kurikulum, betapapun inovatifnya, yang dapat mengalahkan kualitas guru. Namun kebijakan pendidikan Indonesia sering menempatkan guru sebagai “pelaksana”, bukan sebagai “perancang” sekaligus “pemecah masalah belajar”. Padahal dalam teknologi pendidikan, guru adalah learning engineer: perencana dan pengelola pengalaman belajar.
Sayangnya, dukungan terhadap guru sangat minim. Pelatihan kurikulum sering bersifat massal, tidak kontekstual, tidak berkelanjutan, dan kurang menyentuh praktik pembelajaran di kelas. Begitu pelatihan selesai, guru kembali menghadapi realitas kelas tanpa mentor, tanpa supervisi berbasis coaching, tanpa ruang untuk mendiskusikan masalah belajar yang dihadapi.
Teknologi pembelajaran pun belum dikelola dengan bijak. Banyak sekolah dipaksa menggunakan platform digital tanpa pelatihan yang memadai. Akhirnya teknologi menjadi beban, bukan fasilitator belajar. Padahal teknologi dalam pendidikan menekankan appropriateness, teknologi yang tepat untuk kebutuhan yang tepat.
Selama kapasitas guru tidak menjadi prioritas, kurikulum hanya akan hidup di atas kertas, bukan di ruang kelas.
Sumber Belajar dan Lingkungan Belajar: Dua Komponen yang Selalu Dilupakan
Kurikulum menuntut pembelajaran berbasis projek, tetapi sekolah tidak memiliki fasilitas pendukung. Kurikulum menuntut diferensiasi, tetapi kelas berisi 38 siswa dengan satu guru. Kurikulum menuntut asesmen autentik, tetapi tidak ada waktu dan perangkat untuk mengelolanya.
Dalam model sistem pembelajaran ala teknologi pendidikan, learning environment dan learning resources merupakan dua komponen yang tidak bisa diabaikan. Namun dalam praktik, pembaruan kurikulum jarang disertai pembaruan sumber belajar. Guru diminta berimprovisasi, sekolah diminta berinovasi, tetapi tidak diberikan dukungan memadai untuk melakukannya.
Tidak heran jika implementasi kurikulum selalu timpang: sekolah kaya berlari cepat, sekolah miskin tertinggal jauh. Kurikulum yang sama diterapkan di konteks yang sangat berbeda, dan hasilnya pun tidak mungkin seragam.
KESIMPULAN: Kurikulum Hanya Akan Berfungsi Jika Kita Memecahkan Masalah Belajar
Kurikulum bisa berubah setiap lima tahun, tetapi masalah belajar akan tetap ada selama kita gagal memandang pendidikan sebagai sistem. Selama guru tidak diberdayakan, selama desain pembelajaran tidak diajarkan secara sistematis, selama teknologi pembelajaran tidak dipilih berdasarkan tujuan belajar, dan selama kebijakan tidak dilandasi riset lapangan, maka kita akan terus berjalan dalam lingkaran yang sama.
Dari perspektif teknologi pendidikan, reformasi kurikulum seharusnya menjawab satu pertanyaan paling mendasar: apa masalah belajar yang ingin kita pecahkan?
Jika pertanyaan ini tidak dijawab, perubahan kurikulum hanya akan menjadi ritual administratif bukan upaya memajukan kualitas belajar bangsa. Saatnya berhenti memperindah dokumen kurikulum dan mulai memperbaiki sistem pembelajaran. Saatnya menempatkan guru sebagai perancang pembelajaran, bukan pelaksana kebijakan. Saatnya menghadirkan teknologi yang relevan, bukan sekadar keren. Dan yang terpenting, saatnya kita fokus pada inti persoalan: bagaimana membuat siswa benar-benar belajar?
Jika itu tidak dilakukan, maka tidak peduli seberapa sering kurikulum berubah, satu hal akan tetap sama: masalah belajar tidak akan pernah selesai.







