Sumbawa Besar, Kabarsumbawa.com – Hari Guru seharusnya menjadi momentum memuliakan pendidik, mereka yang setiap hari berdiri di garis depan peradaban. Namun di tengah berbagai perayaan dan slogan manis, masih tersimpan kenyataan yang jauh dari kata layak. Guru masih sering diperlakukan sebagai objek kebijakan, bukan subjek yang dihormati.
Di banyak daerah, guru menghadapi beban administratif yang berat, proses birokrasi tunjangan yang berbelit, dan pencairan hak gaji yang tidak selalu tepat waktu. Masalah-masalah ini bukan sekadar teknis, tetapi mencerminkan persoalan mendasar. Martabat guru yang belum ditempatkan pada posisi terhormat.
Administrasi yang Mencekik: Tanggung Jawab Tanpa Perlindungan
Sejumlah guru menyampaikan bahwa mereka sering harus:
Mengurus laporan berlapis yang tidak semuanya berhubungan dengan pembelajaran. Mengulang data yang sama dalam sistem berbeda-beda. Menghadapi verifikasi berkelanjutan yang menguras waktu, dan Menanti pencairan hak mereka tanpa kepastian.
Guru yang seharusnya fokus mengajar, membina karakter, dan mempersiapkan generasi bangsa justru terperangkap dalam birokrasi panjang yang melelahkan.
Ketika administrasi lebih dihargai daripada kualitas pengajaran, yang terjadi adalah kebijakan pendidikan yang jauh dari roh kemanusiaan.
Dogmatisme: Ketika Guru Diminta Patuh Tanpa Ruang Suara
Dalam banyak kasus, guru enggan menyuarakan pendapat mereka karena adanya dogmatisme struktural. Situasi ketika aturan dianggap mutlak, kritik dipandang tidak pantas, dan keluhan dianggap sebagai pembangkangan.
Sikap dogmatis ini menyebabkan, guru takut menyampaikan realitas di sekolah, spirasi guru tidak sampai ke pembuat kebijakan, perbaikan tersendat karena kebenaran ditutup-tutupi, dan budaya diskusi digantikan oleh budaya diam.
Padahal kritik guru bukan ancaman. Justru jalan pembuka perbaikan pendidikan.
Morodidaskalia: Pembodohan yang Menyebabkan Guru Tidak Berdaya
Ketika guru dibebani aturan tanpa ruang dialog, ketika suaranya ditekan, dan kesejahteraannya tertunda karena administrasi yang tidak efisien, muncullah kondisi yang mendekati morodidaskalia, sebuah keadaan ketika guru secara sistematis dibuat tidak berdaya, bukan karena ketidakmampuan, tetapi karena struktur yang tidak mendukung.
Morodidaskalia terjadi ketika, guru dianggap tidak cukup cerdas untuk mengkritisi kebijakan. Guru hanya diwajibkan mengikuti perintah, bukan diajak membangun konsep. Guru tidak diberikan ruang aman untuk mengungkapkan persoalan lapangan. Persoalan kesejahteraan dipandang sebagai “urusan minor”, bukan kebutuhan dasar.
Kondisi ini perlahan meruntuhkan martabat guru dan mengikis kemampuan mereka untuk berkembang secara profesional.
Guru Layak Didengar, Bukan Hanya Dituntut
Dalam peringatan Hari Guru, penting menegaskan bahwa, guru bukan birokrat yang tugas utamanya mengetik laporan. Guru bukan bawahan yang hanya patuh tanpa berpikir. Guru bukan instrumen kebijakan semata. Guru adalah profesional yang memiliki suara, pengalaman, dan pengetahuan unik tentang realitas pendidikan.
Ketika guru diberi ruang untuk bersuara tanpa rasa takut, ketika administrasi disederhanakan, dan hak-hak mereka dipenuhi, maka pendidikan akan menjadi lebih manusiawi dan lebih bermakna.
Mengembalikan Martabat Guru
Memuliakan guru bukan hanya melalui ucapan selamat Hari Guru di panggung-panggung formal, melainkan melalui sistem administrasi yang efisien dan bermartabat. Kebijakan tunjangan dan gaji yang tepat waktu dan transparan. Ruang dialog bagi guru untuk memberi masukan tanpa takut dikucilkan. Kepercayaan penuh pada profesionalisme guru. Budaya pendidikan yang menghargai nalar, bukan sekadar kepatuhan.
Guru adalah penyangga masa depan bangsadan masa depan itu terancam jika guru dibiarkan berada dalam tekanan dogmatisme dan morodidaskalis
Hari Guru bukan hanya perayaan, tetapi pengingat, jka kita ingin pendidikan bermutu, mulailah dari memuliakan gurunya. Bukan dengan slogan, tetapi dengan tindakan nyata.
Bukan dengan menambah beban, tetapi dengan mendengarkan suara mereka. Bukan dengan dogma, tetapi dengan dialog. Dan yang paling penting, bukan dengan membuat guru tidak berdaya, tetapi dengan mengangkat martabat mereka sebagai pilar utama peradaban. (KS)







