“INGAT KALIAN ADALAH PELAYAN BUKAN JURAGAN”
Kabarsumbawa.com – Memang di era saat ini perilaku para ellit maupun pejabat publik agak susah memposisikan diri mereka, terkadang perilaku arogan, angkuh dan sombong sering kali pelekat padanya, dengan kata lain mentang-mentang punya jabatan berlaku semaunya, cukup aneh memang kok seorang yang tugaskan menjadi pelayan malah berperilaku bak seorang juragan bahkan seperti raja yang haus kekuasaan. Jikalau mengacu kepada sebuah konsep pejabat publik hal ini sangat bertolak belakang dengan kenyataannya, secara konseptual pejabat publik adalah individu yang menduduki jabatan dalam institusi pemerintahan, baik melalui pemilihan langsung, penunjukan, maupun mekanisme seleksi tertentu.
Mereka diberi amanah untuk menjalankan tugas-tugas administratif, membuat kebijakan, serta memastikan berjalannya fungsi-fungsi pemerintahan demi kepentingan masyarakat luas. Di Indonesia, pejabat publik mencakup berbagai tingkatan, mulai dari presiden, menteri, Anggota DPR/DPRD, gubernur, bupati/walikota, Kepala Dinas/Badan, Camat hingga kepala desa dan lurah.
Secara konseptual, peran utama pejabat publik adalah sebagai pelayan masyarakat. Mereka dipercaya untuk mengelola sumber daya negara, membuat keputusan strategis, dan memastikan pelayanan publik berjalan optimal. Landasan konstitusional peran ini tertuang dalam UUD 1945 yang menekankan bahwa pemerintahan diselenggarakan untuk kesejahteraan rakyat. Lebih spesifik lagi, UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menggariskan kewajiban aparatur negara untuk memberikan pelayanan prima kepada Masyarakat. Dalam paradigma modern, pejabat publik adalah fasilitator yang memungkinkan masyarakat memperoleh hak-hak dasarnya dan mengembangkan potensi secara optimal.
Berbeda dengan konsep “juragan” yang cenderung memposisikan pejabat sebagai penguasa, paradigma “pelayan rakyat” menekankan bahwa kekuasaan adalah amanah untuk melayani, bukan hak istimewa atau privilese. Pemahaman ini krusial dalam upaya membangun tata kelola pemerintahan yang demokratis, partisipatif, dan berpihak pada kepentingan publik.
Dikotomi antara konsep “pelayan rakyat” dan “juragan” menggambarkan dua paradigma yang bertolak belakang dalam memandang kepemimpinan publik di Indonesia. Pemahaman mendalam tentang perbedaan ini menjadi kunci untuk mengidentifikasi dan mengubah perilaku pejabat yang masih terjebak dalam mentalitas juragan menuju orientasi pelayanan yang sejati. Dalam paradigma juragan, pejabat memosisikan diri sebagai “penguasa” yang memiliki hak istimewa atas fasilitas dan sumber daya publik.
Mereka cenderung mengadopsi gaya komunikasi satu arah, dari atas ke bawah (top-down), dan memandang masyarakat sebagai “bawahan” yang wajib patuh. Kritik dan masukan dari masyarakat sering dipandang sebagai pembangkangan atau ancaman terhadap otoritas mereka. Ciri mencolok dari paradigma juragan adalah penggunaan simbol-simbol kekuasaan secara berlebihan, seperti pengawalan berlebihan, protokol yang rumit, dan pemborosan anggaran untuk kepentingan pribadi. Pengambilan keputusan dilakukan secara tertutup tanpa melibatkan partisipasi publik, dan akuntabilitas hanya bersifat formal-prosedural. Sebaliknya, pejabat dengan paradigma pelayan rakyat memahami bahwa jabatan adalah amanah untuk melayani kepentingan publik. Mereka memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan melalui komunikasi dua arah dan konsultasi publik.
Kritik dan masukan dilihat sebagai kesempatan perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan. Pejabat dengan mentalitas pelayan cenderung menunjukkan kesederhanaan dan kedekatan dengan masyarakat. Mereka mengutamakan efisiensi anggaran untuk program-program yang berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat dan memastikan transparansi dalam setiap keputusan serta tindakan mereka. Akuntabilitas dipahami sebagai pertanggungjawaban substantif, bukan sekadar pemenuhan prosedur formal belaka. Transformasi dari juragan menjadi pelayan rakyat bukan hanya perubahan teknis dalam prosedur birokrasi, tetapi merupakan perubahan fundamental dalam nilai, sikap, dan perilaku. Ini membutuhkan pergeseran dari pemahaman jabatan sebagai “hak istimewa” menuju “tanggung jawab melayani”, dari penggunaan kekuasaan untuk mengontrol menuju pemberdayaan masyarakat
Mengatasi Arogansi dan Perilaku “Juragan” di Kalangan Pejabat
Salah satu tantangan terbesar dalam transformasi pejabat dari juragan menjadi pelayan rakyat adalah mengatasi arogansi dan perilaku feodalistik yang masih melekat pada sebagian pejabat publik di Indonesia. Arogansi kekuasaan seringkali muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari penggunaan fasilitas berlebihan, pengawalan yang mengganggu masyarakat, hingga komunikasi yang merendahkan dan tidak simpatik. Program penyadaran dan refleksi kritis merupakan langkah awal yang penting. Pejabat perlu diajak untuk merefleksikan akar dari perilaku arogansi, yang seringkali berasal dari rasa tidak aman, kebiasaan lama, atau pemahaman yang keliru tentang kekuasaan. Pelatihan kepekaan sosial dan pengembangan kecerdasan emosional dapat membantu pejabat mengenali dan mengelola kecenderungan arogansi dalam diri mereka. Dari sisi regulasi, diperlukan aturan yang jelas dan tegas mengenai batasan penggunaan fasilitas negara, protokol kepejabatan, dan standar komunikasi dengan masyarakat. Regulasi ini harus disertai dengan mekanisme penegakan yang efektif, termasuk sanksi bagi pelanggaran. Contoh positif adalah Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang mengatur penggunaan kendaraan dinas dan pembatasan penggunaan pengawalan berlebihan. Pengawasan dan kontrol sosial dari masyarakat dan media menjadi faktor penting dalam mengendalikan arogansi pejabat. Platform pelaporan untuk melaporkan perilaku arogansi, seperti kanal-kanal media sosial resmi lembaga pengawas, perlu diperkuat dan disosialisasikan. Hasil laporan harus ditindaklanjuti secara transparan untuk memberikan efek jera dan menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengatasi masalah ini. Dalam jangka panjang, perubahan budaya organisasi yang menghargai kesederhanaan dan kedekatan dengan masyarakat perlu dikembangkan. Penghargaan dan pengakuan terhadap pejabat yang menunjukkan perilaku sederhana dan merakyat akan menciptakan role model positif. Narasi keberhasilan perlu digeser dari simbol-simbol kekuasaan dan kemewahan menuju prestasi dalam pelayanan dan dampak nyata bagi masyarakat. Yang tidak kalah penting adalah reformasi pendidikan dan pelatihan kepemimpinan publik yang menekankan nilai-nilai kesetaraan, empati, dan pengabdian. Kurikulum pendidikan pejabat perlu ditinjau ulang untuk menghilangkan elemen-elemen yang secara implisit menanamkan mentalitas “juragan”. Sebagai gantinya, pengembangan kapasitas untuk mendengarkan, berempati, dan melayani perlu lebih diutamakan sebagai kompetensi inti seorang pejabat public.
Saat Berbena Jadilah Pelayan Rakyat bukannya Juragan Bahkan Raja Kecil
Transformasi pejabat dari juragan menjadi pelayan rakyat bukan sekadar perubahan teknis dalam prosedur birokrasi atau retorika dalam komunikasi publik. Ini adalah perubahan paradigmatik yang menyentuh dimensi filosofis dari kekuasaan itu sendiri. Dalam paradigma pelayan rakyat, kekuasaan dipahami sebagai amanah untuk melayani kepentingan publik, bukan privilese yang dinikmati. Esensi jabatan publik adalah tanggung jawab, bukan hak istimewa.
Langkah-langkah konkret yang perlu diprioritaskan dalam jangka pendek antara lain: 1. Reformasi sistem rekrutmen dan promosi pejabat publik dengan memberikan bobot lebih besar pada kompetensi pelayanan dan integritas, 2. Penguatan kelembagaan pengawasan independen seperti Ombudsman dan KPK serta perlindungan terhadap whistleblower dalam birokrasi, 3. Revisi komprehensif terhadap kurikulum pendidikan dan pelatihan pejabat untuk lebih menekankan etika pelayanan public, 4.Simplifikasi regulasi dan birokrasi yang menghambat pelayanan publik yang cepat dan efisien, 5. Pengembangan mekanisme umpan balik dan evaluasi kinerja pejabat yang melibatkan partisipasi masyarakat secara substantif.
Dalam jangka panjang, perubahan paradigma ini membutuhkan transformasi kultural yang lebih mendalam dalam masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Nilai-nilai egaliter, anti-feodalisme, dan partisipasi aktif perlu terus dipupuk, tidak hanya dalam konteks politik pemerintahan tetapi juga dalam pendidikan, keluarga, dan interaksi sosial sehari hari. Ketika masyarakat sendiri tidak lagi mengagungkan simbol-simbol kekuasaan dan status, pejabat publik akan lebih terdorong untuk mencari legitimasi melalui kualitas pelayanan mereka.
Indonesia dengan pejabat yang melayani, bukan memerintah, bukanlah utopia yang tidak mungkin dicapai. Benih benih perubahan telah terlihat melalui berbagai praktik terbaik di berbagai daerah dan institusi. Yang dibutuhkan adalah komitmen untuk terus memperluas dan melembagakan praktik-praktik ini menjadi norma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ketika setiap pejabat publik memahami bahwa kebanggaan tertinggi adalah dapat melayani masyarakat dengan optimal, Indonesia akan tumbuh menjadi negara demokratis yang lebih matang, berkeadilan, unggul,maju dan sejahtera. (KS/LH)
Lukman Hakim, SH, MSi
(Akademisi/Advokat)











