Sumbawa, kabarsumbawa.com – Setiap 28 Oktober kita dengar seruan yang sama: pemuda harus bersemangat, pemuda jangan apatis, pemuda adalah masa depan bangsa. Pertanyaannya sederhana tapi penting: setelah semua seremoni, apa yang benar-benar berubah bagi pemuda di Kabupaten Sumbawa? Karena realitas di lapangan sekarang jauh lebih keras daripada isi pidato.
Dulu, banyak orang beranggapan bahwa pemuda Sumbawa itu “gengsian”: maunya kerja kantoran, enggan kotor tangan, lebih suka gaya daripada kerja riil. Stigma itu lama sekali menempel. Tapi jujur saja, stigma itu sudah tidak relevan. Persaingan hidup hari ini memaksa anak muda Sumbawa turun langsung ke aktivitas ekonomi riil: mengelola ternak, mengolah hasil laut, berjualan olahan pangan rumahan, membuat produk turunan jagung, madu, susu kuda liar, hingga kerajinan tangan lokal. Mereka tidak menunggu “kantor yang nyaman”. Mereka menciptakan kerja sendiri. Dengan kata lain: di Sumbawa, Sumpah Pemuda itu bukan sekadar soal nasionalisme simbolik. Sumpah Pemuda itu soal bertahan hidup secara bermartabat di tanah sendiri.
Pemuda Sumbawa Tidak Pengangguran. Mereka Sedang Menopang Ekonomi Keluarga.
Mari luruskan narasi lama bahwa pemuda sekarang “malas bekerja”. Kalimat itu bukan hanya tidak adil, tapi juga buta konteks. Ambil contoh anak muda yang membantu usaha keluarga, seperti mengolah hasil tangkapan ikan di pesisir, mengolah jagung menjadi produk camilan siap jual, mengemas madu hutan lokal, menjual susu kuda liar, beternak sapi dan memasarkannya, anak muda perempuan yang membantu menenun kain khas Sumbawa (Kre’ Alang) untuk memenuhi pesanan pelanggan dari luar daerah, seringkali pekerjaan itu dianggap hanya “bantu orang tua”, seolah bukan pencipta nilai ekonomi. Padahal kalau kita lihat lebih dekat, mereka menjalankan fungsi yang sebenarnya sangat modern: mereka atur rantai pasok, negosiasi harga dengan pembeli luar, mengatur cash flow harian, memotret produk dan memasarkan lewat status WhatsApp atau Instagram. Itu manajemen mikro. Itu pemasaran digital. Itu pengelolaan aset produktif keluarga.
Artinya begini: pemuda Sumbawa sudah berwirausaha. Hanya saja, usaha mereka tidak diberi label keren. Masalahnya adalah pengakuan. Selama aktivitas ekonomi pemuda desa masih dianggap “bantuan rumah tangga” alih-alih “usaha pemuda”, maka kebijakan publik tidak akan melihat mereka sebagai prioritas. Ini masalah struktural.
Masalah Utama Bukan Mindset Pemuda. Masalahnya Infrastruktur Ekonomi.
Kita terbiasa dengar program pembinaan pemuda yang isinya motivasi: ubah mindset, jadi kreatif, personal branding, jiwa entrepreneur, dan seterusnya. Bagus, tetapi jujur: itu bukan inti masalah di Kabupaten Sumbawa.
Anak muda di sini sudah kreatif. Yang belum hadir adalah dukungan sistemik. Ada empat penghalang nyata yang mereka hadapi sehari-hari:
Legalitas usaha yang rumit untuk skala kecil.
Banyak pelaku muda di olahan pangan (abon ikan, kerupuk jagung, produk madu) tidak punya Nomor Induk Berusaha, label izin edar pangan rumah tangga, atau sertifikasi halal. Bukan karena tidak mau urus, tapi prosesnya terasa jauh, teknis, dan memakan biaya. Tanpa legalitas ini, produk mereka tidak bisa masuk toko modern, tidak bisa masuk paket resmi acara pemerintah, tidak bisa dipasarkan lebih luas.
Permodalan mikro yang adil.
Yang tersedia di lapangan seringkali hutang konsumtif bunga tinggi. Anak muda Sumbawa butuh modal yang berbasis produksi: dana kecil tetapi wajar, dengan pemahaman bahwa mereka butuh beli bahan baku, bukan beli gaya hidup. Selama modal hanya tersedia dalam bentuk hutang yang memberatkan, mereka akan terus berada di bawah tekanan finansial meskipun usahanya laku.
Akses pasar berkelanjutan, bukan bazar satu hari.
Pameran UMKM sehari untuk foto dokumentasi tidak cukup. Mereka butuh kontrak pembeli tetap. Contoh sederhana: abon ikan Sumbawa, madu Sumbawa, olahan susu kuda liar, keripik jagung lokal, kain tenun khas Sumbawa sebagai cenderamata, semua ini bisa menjadi souvenir wajib tamu-tamu resmi, hotel, kegiatan pelatihan, rapat dinas. Pertanyaannya: sudahkah itu betul-betul diwajibkan? Atau masih sekadar jargon promosi daerah?
Posisi tawar yang lemah di hadapan pengepul.
Banyak pemuda yang bergerak di rantai ternak, hasil bumi, hasil laut. Masalahnya klasik: harga sering ditentukan pihak luar, bukan produsen lokal. Jadi meskipun mereka kerja keras dari pagi sampai malam, nilai tambah tetap lari keluar daerah. Ini bukan kegagalan individu. Ini kegagalan tata niaga.
Jadi yang harus dikritisi itu bukan mental pemudanya, namun sistem ekonomi yang menempatkan pemuda Sumbawa sebagai tenaga kerja murah dalam usaha mereka sendiri.
Sumbawa Sebenarnya Sudah Punya Rumus Sosial-Ekonomi Sendiri
Kabupaten Sumbawa memiliki falsafah yang sangat kuat: “Sabalong Samalewa.” Sederhananya, ini bukan sekadar kata adat yang dimuseumkan. Ini prinsip kerja bersama: bergerak serentak, saling menopang, maju bareng, bukan maju sendiri-sendiri. Kalau pemerintah mau serius, Sabalong Samalewa bisa diterjemahkan menjadi model ekonomi pemuda Sumbawa yang khas, yang berbeda dari pola kota besar. Maknanya konkret:
Bukan pemuda bersaing saling jatuhkan, tapi pemuda membentuk kekuatan kolektif supaya punya daya tawar harga.
Bukan pemuda dianggap “usaha kecil kasihan”, tapi pemuda diposisikan sebagai produsen daerah yang harus dilindungi.
Dengan kata lain, kita tidak wajib meniru pola “startup teknologi” ala kota besar. Kita bisa membangun model ekonomi pemuda berbasis komunitas, sumber daya lokal, dan etika gotong royong yang memang sudah menjadi DNA Sumbawa. Lima Agenda Kebijakan Nyata untuk Pemuda UMKM Sumbawa
Rumah Legalitas UMKM Pemuda Sumbawa
Bentuk satu layanan cepat di kabupaten yang benar-benar mengurus NIB, izin edar pangan rumah tangga, sertifikasi halal, dan kemasan dasar. Targetnya: pemuda datang bawa produk, pulang bawa legalitas. Cepat, murah, jelas.
Belanja APBD untuk Produk Pemuda Lokal
Pemerintah daerah wajib menyerap produk pemuda Sumbawa untuk rapat dinas, jamuan tamu, souvenir resmi, hadiah lomba, konsumsi pelatihan. Kalau pemerintah daerah sendiri tidak jadi pembeli pertama, sulit berharap pasar lain ikut.
Koperasi Pemuda Berbasis Komoditas Spesifik
Bukan koperasi umum yang kabur arahnya, tapi koperasi fokus per komoditas: ikan olahan, madu Sumbawa, jagung olahan, dan seterusnya. Dengan begitu harga bisa dinegosiasikan kolektif dan ketergantungan pada pengepul luar berkurang.
Magang yang Serius, Bukan Formalitas SKS
Sekolah dan kampus harus menurunkan siswa/mahasiswa langsung bantu UMKM pemuda: kemasan, foto produk, katalog online, pembukuan, hitung HPP. Ini sekaligus pendidikan kewirausahaan yang nyata, bukan hanya teori.
Label “Produk Pemuda Sumbawa”
Buat cap resmi bersama sebagai identitas mutu dan kejujuran produksi lokal. Tujuannya membangun kebanggaan konsumen Sumbawa untuk membeli dari pemuda Sumbawa, agar uang berputar di daerah, bukan lari keluar.
Semua ini realistis. Dan penting: semua ini bisa dimulai di tingkat kabupaten. Tidak perlu menunggu “program nasional” turun. Artinya, kalau pemerintah daerah mau, ini bisa dijalankan sekarang.
Kenapa Mendesak?
Karena kalau tidak dilakukan, kita akan masuk lingkaran yang sama: pemuda Sumbawa sudah kerja keras, tapi tetap dianggap “belum punya pekerjaan tetap”. Lalu mereka dipaksa percaya bahwa satu-satunya tanda sukses adalah jadi pegawai kantoran. Ini berbahaya.
Pertama, karena tidak semua orang akan terserap jadi pegawai kantoran. Kedua, karena narasi “kerja kantoran lebih terhormat” itu merendahkan usaha produksi lokal yang justru menyelamatkan ekonomi keluarga di desa, di pasar, di kampung.
Sumpah Pemuda hari ini harus dibaca ulang. Dulu inti sumpah itu adalah satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air. Sekarang, untuk Sumbawa, ada satu kalimat tambahan yang harus berani kita ucapkan:
“Kami juga berhak atas kedaulatan ekonomi di tanah kami sendiri.”
Dan kedaulatan ekonomi itu tidak lahir dari seremoni 28 Oktober, tidak lahir dari pidato “pemuda adalah harapan bangsa”. Ia lahir ketika pemerintah daerah berhenti memosisikan pemuda sebagai objek upacara dan mulai memperlakukan mereka sebagai mitra ekonomi strategis Kabupaten Sumbawa. Bukan besok. Tapi sekarang.












