Sumbawa Besar, KabarSumbawa.com – Wisata Bahari saat ini, menjadi magnet besar dalam Dunia Pariwisata. Tidak terkecuali wisata bahari di Kabupaten Sumbawa. Contohnya Tanjung Munangis, Ai Lemak dan Takat Sagele yang keindahan bawah lautnya sudah diakui oleh Wisatawan Asing yang berkunjung. Bahkan menjadi salah satu spot andalan untuk Diving maupun Snorkling.
Namun, keindahan dan daya tarik tersebut tidak dibarengi dengan kesadaran Pemerintah Daerah guna menjaga kelestariannya untuk kualitas produk dan pariwisata yang berkelanjutan (sustainable).
Salah satu pelaku wisata Sumbawa sekaligus Pendiri group Pemerhati Wisata Adventurous Sumbawa, Taqwa Sajidin, mengaku prihatin akan hal tersebut. Menurutnya, kunjungan ke spot ini semakin meningkat tiap tahunnya. Baik yang melalui Sumbawa Besar maupun direct (langsung) melalui kapal-kapal semi pesiar.
“Jika tingkat kunjungan yang semakin meningkat ini tidak segera diantisipasi dengan kebijakan pihak terkait demi pelestarian, kualitas produk wisata dan untuk pariwisata yang sustainable. Maka tidak mustahil akan bernasib sama seperti Ko Tachai di Thailand yang ditutup untuk segala aktifitas wisata karena tingkat kunjungan tinggi tanpa pengelolaan yang baik.” Ungkapnya kepada KabarSumbawa.com, Senin (17/9) via Telepon.
Salah satu cara, lanjutnya, agar spot-spot tersebut tidak bernasib sama seperti di Ko Tachai, Thailand. Perlu dipasang Mooring Buoy atau Alat Tambat Apung. Karena, kapal-kapal layar ataupun sejenis Liveaboard dan perahu nelayan sering menurunkan jangkar ke dalam laut dan tentunya hal tersebut bisa merusak terumbu karang dan mengganggu ekosistem laut.
“Perlu dipasang mooring buoy (alat tambat apung) supaya kapal-kapal milik travel wisata maupun nelayan-nelayan yang ingin mencari ikan disekitar spot tersebut, tidak lagi menambatkan maupun menurunkan jangkarnya di dalam laut. Bayangkan saja jika setiap harinya ada 10 boat menurunkan jangkar disekitar spot itu” Jelasnya.
Maka dari itu, ia sangat mengharapkan pihak terkait untuk memperhatikan hal-hal kecil seperti itu.
“Mungkin kita berfikir, spot-spot itu masih belum pantas disamakan dengan Ko Tachai yang dikunjungi ribuan wisatawan. Tapi, mencegah lebih baik daripada rehabilitasi lingkungan setelah mengalami kerusakan” Pungkasnya.(KS/yud)